Selasa, 15 Juli 2008

Kunci Syurga Muslimah

Surga adalah idaman dan harapan setiap orang beriman, laki-laki dan perempuan, ia adalah akhir perjalanan bagi semua orang yang taat dan patuh kepada Allah dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya, bagi seorang muslimah perkara ini penting karena Rasulullah saw telah menyatakan bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah wanita, dari sini mengetahui kunci surga oleh seorang muslimah merupakan perkara penting, dengan meraih kunci ini berarti dia tidak termasuk ke dalam golongan para wanita penghuni neraka.

Rasulullah saw telah merangkum kunci surga muslimah dalam empat perkara,
1- Menjaga shalat lima waktu.
2- Berpuasa di bulannya.
3- Menjaga kehormatannya.
4- Menaati suaminya.

Dari Abdurrahman bin Auf berkata, Rasulullah saw bersabda,


إِذَا صَلَّتِ المَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الجَنَّةِ شَاءَتْ .

“Jika seorang wanita menjaga shalat lima waktu, berpuasa pada bulannya, menjaga kehormatannya dan menaati suaminya, niscaya dia masuk surga dari pintu mana saja yang dia inginkan.”(HR. Ahmad nomor 1661, hadits hasan lighairihi).

Satu hal yang terpetik dari sabda Nabi saw di atas adalah bahwa beliau hanya menyebutkan perkara-perkara yang masuk ke dalam jangkauan seorang muslimah, di mana seorang muslimah mampu melaksanakannya tanpa bergantung kepada orang lain atau bergantung kepada suaminya, di sini Rasulullah saw tidak menyinggung, misalnya, haji, karena pelaksanaan ibadah ini oleh seorang muslimah bergantung kepada suatu perkara yang mungkin tidak dimilikinya, seperti tersedianya bekal haji atau tersedianya mahram, di sini Rasulullah saw juga tidak menyinggung zakat, karena perkaranya kembali kepada kepemilikan harta dan pada umumnya ia berada di tangan kaum laki-laki, karena harta adalah hasil bekerja dan yang bekerja pada dasarnya adalah kaum laki-laki.

Kunci pertama, menjaga shalat lima waktu

Shalat adalah ibadah teragung, hadir setelah ikrar dua kalimat syahadat, satu-satunya ibadah yang tidak menerima alasan ‘tidak mampu’, wajib dikerjakan dalam keadaan apa pun selama hayat masih dikandung badan dan akal masih bekerja dengan baik, pembatas antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan, tidak heran jika suatu ibadah dengan kedudukan seperti ini merupakan salah satu kunci surga.

Jika menjaga shalat adalah kunci surga, maka sebaliknya menyia-nyiakannya adalah gerbang neraka, ketika para pendosa dicampakkan ke dalam neraka, mereka ditanya, apa yang membuat kalian tersungkur ke dalam neraka? Mereka menyebutkan rentetan dosa-dosa yang diawali dengan meninggalkan shalat.

Firman Allah, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?’ Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.”(Al-Muddatstsir: 42-43).

Perkara menyia-nyiakan shalat tidak jarang terjadi pada kaum muslimin secara umum dan kaum muslimat secara khusus, banyak alasan dan hal yang membuat mereka terjerumus ke dalam perbuatan tidak terpuji ini, di antara mereka ada yang menyia-nyiakan shalat karena malas dan meremehkan, di antara mereka ada yang terlalaikan oleh kesibukan hidup, sibuk bekerja, sibuk memasak, sibuk mengurusi rumah tangga, sibuk mengurusi anak-anak dan suami, sibuk dengan kegiatan-kegiatan lainnya sehingga ibadah shalat terbengkalai, padahal ibadah shalat tidak menerima alasan apa pun yang membuatnya tersia-siakan, dan Allah telah memperingatkan kaum muslimin agar tidak terlalaikan oleh dunia dari mengingatNya, termasuk mengingatNya melalui ibadah shalat.

Firman Allah, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Munafiqun: 9).

Menjaga shalat lima waktu mencakup menjaga waktunya dalam arti melaksanakannya tepat waktu, tidak menundanya dan mengulur-ulur waktunya sampai waktunya hampir habis, atau bahkan membiarkannya habis, ini adalah shalat orang-orang munafik, dan seorang muslimah tidak patut bermental munafik dalam ibadah shalat.

Menjaga shalat mencakup menjaga syarat-syarat dan rukun-rukunnya di mana shalat tidak sah tanpanya, menjaga wajib-wajib dan sunnah-sunnahnya yang merupakan penyempurna bagi ibadah shalat, semua ini menuntut seorang muslimah untuk belajar dan membekali diri dengan ilmu yang shahih tentang shalat. Tanpa ilmu yang shahih tidak akan terwujud menjaga shalat.

Kunci kedua, berpuasa di bulannya

Puasa di bulan Ramadhan adalah salah satu kunci surga, lebih dari itu di surga tersedia sebuah pintu khusus bagi orang-orang yang berpuasa yang dikenal dengan ‘ar-Rayyan’, pintu masuk para shaimin secara khusus, jika mereka telah masuk maka ia akan ditutup.
Di samping berpuasa sebagai kunci surga, ia juga merupakan tameng dan pelindung dari neraka, Rasulullah saw menyatakan, ash-shaumu junnah, puasa adalah tameng atau pelindung, yakni dari api neraka.

Karena puasa merupakan salah satu kunci surga sekaligus pelindung dari neraka maka seorang muslimah harus menjaganya, dalam arti melaksanakannya dengan baik, memperhatikan syarat, rukun dan pembatalnya, karena tanpanya dia tidak mungkin berpuasa dengan baik.

Seorang muslimah juga harus memperhatikan perkara qadha puasa Ramadhan di hari-hari lain jika dia mendapatkan halangan pada bulan Ramadhan sehingga tidak mungkin berpuasa secara penuh, jangan sampai Ramadhan berikut hadir sementara dia belum melunasi hutang puasanya, perkara mengqadha puasa di hari lain ini sering terlupakan atau terabaikan, karena kesibukan hidup, padahal ia adalah hutang yang jika tidak dilaksanakan maka seorang muslimah tidak bisa dikatakan telah berpuasa di bulannya, selanjutnya dia gagal meraih kunci kedua dari kunci-kunci masuk surga, dari sini bersikap hati-hati dengan menyegerakan qadha adalah sikap bijak, karena penundaan terkadang malah merepotkan dan menyulitkan.
(Izzudin Karimi)

Diambil dari: www.alsofwah.or.id

Kamis, 10 Juli 2008

Susu Ibu adalah Makanan Terbaik bagi Bayi

Berikut artikel yang diambil dari web: www.alsofwah.or.id. Semoga bermanfaat.

Tugas dan Beban Ibu: Menyusui

Fase menyusu termasuk fase terpenting yang dilalui oleh anak, peran ibu dalam fase ini sangat penting, oleh karena itu Allah tidak menyerahkan persoalannya kepada seseorang, akan tetapi Dia menurunkan ayat yang terbaca sepanjang waktu dan zaman, demi menegaskan di setiap tempat dan waktu pentingnya menyusui secara alami bagi ibu dan bayi sekaligus.

Firman Allah Ta’ala, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 233).

Dalam Tafsir al-Qurthubi rhm tentang firman Allah, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya,” disebutkan ucapan adh-Dhahhak yang berkata, “Para ibu lebih berhak menyusui anak-anak mereka daripada wanita lain karena mereka lebih sayang dan lebih lembut, menjauhkan anak dari ibu merugikan keduanya.”

FirmanNya, “Selama dua tahun.” Yakni sempurna bagi siapa yang hendak menyempurnakan susuan, ini menunjukkan bahwa menyusui selama dua tahun bukan merupakan hak, boleh menyapih sebelum itu, dan hal ini bersifat kondisional.

Firman Allah, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang tuanya: ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKu-lah kembalimu.” (Luqman: 14).

Firman Allah, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula), mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”(Al-Ahqaf: 15).

Dalam Tafsir al-Qurthubi disebutkan ucapan Ibnu Abbas yang berkata, “Kedua ayat ini tentang anak, dia berdiam di dalam rahim selama enam bulan, jika dia berdiam selama tujuh bulan maka susuannya selama dua puluh tiga bulan, jika dia berdiam selama delapan bulan maka susuannya dua puluh dua bulan, jika dia berdiam selama sembilan bulan maka susuannya selama dua puluh satu bulan berdasarkan firman Allah, “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”(Al-Ahqaf: 15). Dari sini maka masa kehamilan dan menyusui saling berkaitan, sebagian mengambil yang lain.

Ini tentang masa menyusui, adapun tentang hukum menyusui maka Allah berfirman, “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.” (Al-Baqarah: 233). Al-Bukhari meriwayatkan dari Yunus dari az-Zuhri berkata, “Allah melarang menyengsarakan ibu karena anaknya, ibu berkata, ‘aku tidak menyusuinya’, padahal susu ibu adalah makanan terbaik bagi bayi, ibu lebih sayang dan lebih lembut kepada anak daripada selainnya, ibu tidak berhak menolak menyusui setelah bapak memberikan kepadanya apa yang Allah wajibkan atas dirinya, bapak tidak boleh menyengsarakan ibu karena anaknya, bapak tidak menghalangi ibu menyusui anaknya dan menyerahkan anak kepada orang lain untuk menyusahkan ibu. Tidak ada dosa bagi keduanya menyusukan anak kepada orang lain dengan musyawarah dari bapak dan ibu, “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (Al-Baqarah: 233). Setelah dicapai kesepakatan di antara mereka berdua.”

Melihat pentingnya menyusui secara alami bagi bayi, Allah swt menetapkan nafkah untuk ibu menyusui bahkan sesudah dia ditalak, hal ini agar anak tidak sengsara karena disia-siakan dengan tidak mendapatkan nafkah dari bapak melalui ibu. Allah juga mendorong para ibu agar menyusui anak-anaknya, firman Allah, “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, ‘Susuilah dia.” (Al-Qashash: 7).

Karena susuan paling utama dan terbaik adalah yang langsung dihisap dari payudara ibu yang sehat setelah persalinan, susu ini adalah makanan alami yang pas untuk bayi, Allah telah menyiapkannya dengan kadar dan ukuran tertentu yang tidak tertandingi oleh susu jenis apapun, meskipun ia diklaim baik dari segi mutu dan kadarnya.

Kedokteran modern telah menetapkan manfaat-manfaat dari menyusui secara alami bagi anak dari segi kesehatan dan kejiwaan, di antara segi kesehatan adalah:

1- ASI adalah makanan terbaik bagi bayi, ia steril yang selalu siap karena tidak terkontaminasi oleh virus sebagaimana dalam susuan melalui botol, di samping itu suhu panas ASI sesuai dengan suhu panas bayi dan lebih dari itu gratis tanpa perlu biaya.

2- ASI mudah dicerna karena ia mengandung zat-zat pencerna yang justru membantu usus untuk mencerna.

3- ASI tidak tertandingi oleh susu apapun karena ia diciptakan dan disusun demi memenuhi kebutuhan bayi hari demi hari, susunan kolostrum, cairan berwarna kuning yang dihasilkan oleh payudara sesaat setelah persalinan, mengandung kadar protein lunak yang pas dan zat-zat imun yang melawan mikroba dan virus, maka bayi tumbuh dan dia memiliki kekuatan melawan penyakit.

4- Bayi tumbuh dan berkembang sehat dan selamat dari penyakit jika dia menyusu secara alami, pada saat yang sama menyusu dari botol membuat bayi riskan terkena beberapa penyakit seperti peradangan, diare dengan berbagai macamnya, tersedak dan masih banyak lagi.

Adapun dari segi kejiwaan maka kedokteran jiwa modern telah mengatakan bahwa menyusui secara alami menguatkan jalinan emosi antara ibu dengan bayinya, menjadikan ibu lebih sayang dan perhatian kepada bayinya, menyusui bukan proses sebatas materi, akan tetapi ia adalah jalinan maknawi dan pembentukan jiwa bagi bayi yang disusui.
(Izzudin Karimi)

Hukum Menghilangkan Rambut yang Tumbuh Di Wajah Wanita

TANYA:

Bagaimana hukum menghilangkan rambut yang tumbuh pada muka wanita?

JAWAB:

Jika rambut tersebut adalah rambut yang biasa tumbuh (rambut halus), maka tidak boleh menghilangkannya, berdasarkan hadits bahwa Rasulullah a melaknat wanita yang mencukur dan yang meminta cukur rambut halus yang tumbuh pada muka dan bulu alis.*

Adapun yang dimaksud mencukur rambut dalam hadits ini ialah mencabut atau menghilangkan rambut yang tumbuh pada muka dan bulu dua alis.

Sedangkan menghilangkan atau mencukur rambut tambahan yang dapat memperburuk rupa, seperti kumis dan jenggot, maka hal itu tidak menjadi masalah membuangnya dan tidak berdosa karena ia dapat memperburuk rupa dan memudharatkannya.

(SUMBER: Fatwa Syaikh Ibnu Baz, Majalah al-Buhuts, no. 37: 170-171. Lihat, FATWA-FATWA TERKINI, DARUL HAQ)

NB:

* Al-Bukhari bab at-Tafsîr (4886); Muslim bab Pakaian (2125)

Dinukil dari: www.alsofwah.or.id

Antara Malu Dan Iman

Antara Malu Dan Iman

عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو اْلأَنْصَارِيِّ الْبَدْرِيِّ رضي الله عنه، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُولَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

Dari Abu Mas'ud Uqbah bin Amr al-Anshari al-Badri RA, me-ngatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari ucapan para nabi terdahulu: Jika kamu tidak malu, maka lakukan apa yang kamu suka." (HR. al-Bukhari)*

SYARAH

Imam an-Nawawi berkata
:

Sabdanya, "Jika kamu tidak malu, maka lakukan sesukamu." Artinya, jika kamu hendak melakukan sesuatu; bila ia termasuk perkara yang tidak membuat malu untuk dikerjakan, baik terhadap Allah maupun manusia, maka lakukanlah. Jika tidak, maka jangan laku-kan. Pada hadits inilah berputar poros Islam seluruhnya. Berdasarkan hadits ini, maka sabdanya, "maka lakukan apa yang kamu suka" adalah perintah mubah. Karena, jika perbuatan itu tidak dilarang secara syar'i, ia adalah mubah. Sebagian ulama ada yang menafsirkan hadits ini, bahwa jika kamu tidak malu kepada Allah SWT dan tidak merasa mendapat pengawasanNya, maka ikuti keinginan nafsumu dan la-kukan sesukamu. Dengan demikian, perintah ini untuk tahdid (ancam-an), bukan kebolehan. Ini seperti firmanNya, "Perbuatlah apa yang kamu kehendaki." (Fushshilat: 40).

Dan seperti firmanNya, "Dan kacaukanlah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu." (Al-Isra': 64)

Imam Ibnu Daqiq berkata:

Makna sabdanya, "Dari ucapan para nabi terdahulu…" bahwa malu itu senantiasa terpuji, dinilai baik lagi diperintahkan, yang tidak dihapus dalam berbagai syariat para nabi terdahulu.

Sabdanya, "Lakukan apa yang kamu suka," di dalamnya terdapat dua tinjauan:
Pertama, lafal tersebut berbentuk perintah dengan makna ancaman, dan tidak dimaksudkan sebagai perintah, seperti firmanNya, "Perbuatlah apa yang kamu kehendaki." (Fushshilat: 40). Ini ancaman, karena Allah telah menjelaskan kepada mereka tentang apa yang mereka kerjakan dan apa yang mereka tinggalkan. Juga seperti sabda Nabi SAW,

مَنْ بَاعَ اْلخَمْرَ فَلْيُشَقِّصِ اْلخَنَازِيْرَ.



"Barangsiapa yang menjual khamar, hendaklah ia memotong-motong babi.",**

Di dalam hadits ini tidak ada kandungan yang membolehkan memotong babi.
Kedua, maknanya, kerjakan segala yang tidak membuat malu ketika pelakunya menampakkannya. Senada dengan ini, ialah sabda beliau SAW,

الحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ.


"Malu itu sebagian dari iman."

Artinya, ketika malu itu menghalangi pelakunya dari berbagai kenistaan dan membawanya kepada kebajikan, sebagaimana iman menghalanginya orang yang beriman dari kenistaan tersebut dan membawanya kepada ketaatan, maka ia berkedudukan sebagai iman karena menyamainya dalam hal itu. Wallahu a'lam.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata:

Sabdanya, "Salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari ucapan para nabi terdahulu, Jika kamu tidak malu, maka lakukan apa yang kamu suka." Yakni, salah satu peninggalan para nabi terdahulu yang terdapat pada umat-umat sebelumnya, dan diakui oleh syariat ini, "Jika kamu tidak malu, maka lakukan apa yang kamu suka." Artinya, jika kamu melakukan suatu perbuatan yang tidak membuat malu, maka lakukan sesukamu. Ini salah satu dari dua tinjauan. Yakni, lakukanlah dalam pengertian ini.

Aspek kedua, jika manusia tidak punya rasa malu, maka ia melakukan sesukanya dan tidak peduli. Kedua makna ini benar.

Faedah Hadits

Rasa malu itu merupakan salah satu perkara yang dibawa oleh syariat-syariat terdahulu, dan manusia semestinya bersikap tegas. Jika sesuatu tidak membuat malu, maka silahkan melakukannya. Kemutlakan ini dibatasi dengan sesuatu yang bila dikerjakan akan mendatangkan kerugian. Ia dilarang dikerjakan, karena mengkhawatirkan mafsadahnya.

CATATAN KAKI:

* HR. al-Bukhari, no. 3483, 3484, 6120

** Hadits dha'if: Ahmad, 4/253; Abu Daud, no. 3489; ad-Darimi, 2/ 155; al-Baihaqi dalam al-Kubra, 6/ 12; ath-Thabrani dalam al-Ausath, 8/ 245; dan didhaifkan al-Albani dalam Dha'if al-Jami', no. 5499.

Berkata muallif an-Nihayah fi Gharib al-Hadits, "Ini adalah kata perintah tetapi maknanya adalah larangan. Dan berkata Muhammad Syamsul Haq Abadi, 'Makna hadits ini adalah mempertegas dan memperkuat haramnya khamar'." Lihat Aun al-Ma'bud, (editor).
*** Muttafaq alaih: al-Bukhari, no. 24; dan Muslim, no. 36

Dinukil dari: www.alsofwah.or.id

Rabu, 28 Mei 2008

NIFAS DAN HUKUM-HUKUMNYA

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin
http://www.almanhaj.or.id/content/1684/slash/0

Makna Nifas

Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya ( 2 atau 3 hari) yang disertai dengan rasa sakit.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit adalah nifas." Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnva yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.

Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa syari'at, halaman 37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang wanita mendapati darah lebih dari 40,60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits."

Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah masa (40 hari) itu, maka hendaklah hal tersebut dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang.

Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini,hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan pada pasal sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli oleh suaminya.Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam kitab Al-Mughni.

Nifas tidak dapat ditetapkan, kecualijika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku baginya adalah hukum wanita mustahadhah.

Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab Syarhul Iqna': "Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas). Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila sesudah kelahiran temyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak teryata demikian, tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak pedu kembali mengerjakan kewajiban"

Hukum-Hukum Nifas

Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut ini:

[a]. Iddah. dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab, jika talak jatuh sebelum isteri melahirkan iddahnya akan habis karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.

[b]. Masa ila'. Masa haid termasuk hitungan masa ila', sedangkan masa nifas tidak.

Ila' yaitu jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan. Apabila dia bersumpah demikian dan si isteri menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari saat bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut, suami diharuskan menggauli isterinya, atau menceraikan atas permintaan isteri. Dalam masa ila' selama empat bulan bila si wanita mengalami nifas, tidak dihitung terhadap sang suami, dan ditambahkan atas empat bulan tadi selama masa nifas. Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.

[c]. Baligh. Masa baligh terjadi denganhaid, bukan dengan nifas. Karena seorang wanita tidakmungkinbisa hami sebelum haid, maka masabaligh seorang wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.

[d]. Darah haid jika berhenti lain kembali keluar tetapi masih dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya, seorang wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan kedelapan; maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah darah haid.

Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya dan terlarang baginya apa yang terlarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha' apa yang diperbuatnya selama keluarya darah yang diragukan, yaitu yang wajib diqadha' wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menunut para fuqaha ' dari Madzhab Hanbali.

Yang benar, jika darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas maka termasuk nifas. Jika tidak, maka darah haid. Kecuali jika darah itu keluar terus menerus maka merupakan istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan dalam kitab AI-Mughni' bahwa Imam Malik mengatakan:

"Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari, yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas.

Jika tidak, berarti darah haid." Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.

Menurut kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam masalah darah. Namun, keragu-raguan adalah hal yang relatif, masing-masing orang berbeda dalam hal ini sesuai dengan ilmu dan pemahamannya. Padahal Al-Qur'an dan Sunnah berisi penjelasan atas segala sesuatu.

Allah tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua kali, kecuali jika ada kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat diatasi kecuali dengan mengqadha'. Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya maka ia telah terbebas dari tanggungannya. Sebagaimana firman Allah:

"Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan.. " [Al-Baqarah: 286]

"Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ..." [At-Taghabun : 16]

[e]. Dalam haid,jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh menggaulinya, menurut yang masyhur dalam madzhab Hanbali.

Yang benar,menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa isterinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata: "Jangan kau dekati aku !".

Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami terlarang menggauli isterinya karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati Ustman, yaknik hawatir kalau isterinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab lainnya. Wallahu a 'lam.


[Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin-Nisa' Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin, dengan edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita hal 53 - 57 terbitan Darul Haq, Penerjemah Muhammad Yusuf Harin. MA]

Senin, 26 Mei 2008

Saudariku... Berjilbablah Sesuai Ajaran Nabimu!

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Islam adalah ajaran yang sangat sempurna, sampai-sampai cara berpakaian pun dibimbing oleh Alloh Dzat yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi diri kita. Bisa jadi sesuatu yang kita sukai, baik itu berupa model pakaian atau perhiasan pada hakikatnya justru jelek menurut Alloh. Alloh berfirman, “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu adalah baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal sebenarnya itu buruk bagimu, Alloh lah yang Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al Baqoroh: 216). Oleh karenanya marilah kita ikuti bimbingan-Nya dalam segala perkara termasuk mengenai cara berpakaian.

Perintah dari Atas Langit

Alloh Ta’ala memerintahkan kepada kaum muslimah untuk berjilbab sesuai syari’at. Alloh berfirman, “Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu serta para wanita kaum beriman agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka mudah dikenal dan tidak diganggu orang. Alloh Maha pengampun lagi Maha penyayang.” (Al Ahzab: 59)

Ketentuan Jilbab Menurut Syari’at

Berikut ini beberapa ketentuan jilbab syar’i ketika seorang muslimah berada di luar rumah atau berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahrom (bukan ‘muhrim’, karena muhrim berarti orang yang berihrom) yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shohihah dengan contoh penyimpangannya, semoga Alloh memudahkan kita untuk memahami kebenaran dan mengamalkannya serta memudahkan kita untuk meninggalkan busana yang melanggar ketentuan Robbul ‘alamiin.

Pertama

Pakaian muslimah itu harus menutup seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan (lihat Al Ahzab: 59 dan An Nuur: 31). Selain keduanya seperti leher dan lain-lain, maka tidak boleh ditampakkan walaupun cuma sebesar uang logam, apalagi malah buka-bukaan. Bahkan sebagian ulama mewajibkan untuk ditutupi seluruhnya tanpa kecuali-red.

Kedua

Bukan busana perhiasan yang justru menarik perhatian seperti yang banyak dihiasi dengan gambar bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang partai politik!!!; ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan diantara sesama muslimin. Sadarlah wahai kaum muslimin…

Ketiga

Harus longgar, tidak ketat, tidak tipis dan tidak sempit yang mengakibatkan lekuk-lekuk tubuhnya tampak atau transparan. Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang banyak dikenakan para mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan bahkan para artis itu sesuai syari’at atau tidak.

Keempat

Tidak diberi wangi-wangian atau parfum karena dapat memancing syahwat lelaki yang mencium keharumannya. Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang wanita diantara kalian hendak ke masjid, maka janganlah sekali-kali dia memakai wewangian.” (HR. Muslim). Kalau pergi ke masjid saja dilarang memakai wewangian lalu bagaimana lagi para wanita yang pergi ke kampus-kampus, ke pasar-pasar bahkan berdesak-desakkan dalam bis kota dengan parfum yang menusuk hidung?! Wallohul musta’an.

Kelima

Tidak menyerupai pakaian laki-laki seperti memakai celana panjang, kaos oblong dan semacamnya. Rosululloh melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki (HR. Bukhori)

Keenam

Tidak menyerupai pakaian orang-orang kafir. Nabi senantiasa memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka diantaranya dalam masalah pakaian yang menjadi ciri mereka.

Ketujuh

Bukan untuk mencari popularitas. Untuk apa kalian mencari popularitas wahai saudariku? Apakah kalian ingin terjerumus ke dalam neraka hanya demi popularitas semu. Lihatlah isteri Nabi yang cantik Ibunda ‘Aisyah rodhiyallohu ‘anha yang dengan patuh menutup dirinya dengan jilbab syar’i, bukankah kecerdasannya amat masyhur di kalangan ummat ini? Wallohul muwaffiq.

(Disarikan oleh Abu Mushlih dari Jilbab Wanita Muslimah karya Syaikh Al Albani)

***

dinukil dari Artikel: www.muslimah.or.id


Saudariku... Kuingin Meraih Surga Bersamamu

Penulis: Ummu Ziyad
dinukil dari web: http://muslimah.or.id.

Memakai jilbab, untuk saat ini dan di negara ini, bukanlah berarti sebuah pengilmuan akan agama. Dulu aku pernah beranggapan bahwa seorang yang memakai jilbab adalah orang yang akan berusaha mempertahankan jilbabnya disebabkan proses pemakaian jilbab itu sendiri membutuhkan pergulatan di hati yang membuncah-buncah dan penuh derai air mata. Tapi sayangnya, makin bertambah usiaku, maka berubah pula anggapan itu disebabkan berbagai kenyataan yang kutemui.

Aku baru menyadari ada sebagian wanita yang menggunakan jilbab hanya karena sekedar disuruh atau diwajibkan oleh orang tua, tempat belajar atau tempatnya bekerja. Jika telah keluar dari ‘aturan’ itu, maka lepas pula jilbab yang menutupi kepalanya. Mungkin karena itulah kain-kain itu tidak menutup secara benar kepala dan dada mereka.

Sebagian lagi, memakai jilbab karena pada saat itu, jilbab terasa pas untuk dipakai dan lebih menimbulkan kesan ‘gaya’ dan kereligiusan agama. Apalagi jika diberi pernak-pernik di sana-sini. Jilbab yang seharusnya menutup keindahan wanita tersebut malah justru menambah keindahan itu sendiri. Ditambah lagi kesan agamis yang terasa nyaman di hati.

Aku juga pernah berpikir dan bertanya-tanya, bahwa orang-orang memakai cadar dan berjilbab lebar apakah tidak kepanasan dengan seluruh atributnya? Apakah tidak repot jika hendak keluar dimana mereka harus memakai seluruh kain panjang tersebut? Mulai dari baju, jilbab yang lebar, masih harus ditambah memakai kaus kaki! Ah! Dan di balik jilbab itu, ternyata masih ada jilbab lagi! Dan… apakah mereka bisa melihat dari balik cadar yang menutup matanya?

Untuk yang satu ini, waktu tidak cukup untuk menjawab semua pertanyaan itu. Karena butuh pengetahuan lain yang merasuk ke dalam hati untuk mendapatkan jawabannya. Pengetahuan akan indahnya Islam dengan segala pengaturan yang diberikan oleh Allah. Pengetahuan akan surga yang begitu indah dan damai dengan segala kenikmatannya. Pengetahuan bahwa surga tidak akan tercium oleh wanita yang mengumbar-umbar aurat di depan khalayak. Pengetahuan bahwa penghuni neraka yang paling banyak adalah wanita. Ternyata kerepotan itu bukanlah kerepotan, melainkan sebuah usaha. Usaha dari seorang wanita muslimah untuk menggapai surga-Nya. Untuk bersanding dengan suaminya ditemani dengan bidadari cantik lainnya. Panas dari jilbab itu bukanlah rasa panas yang menyesakkan pikiran dan dada. Akan tetapi hanya sepercik penguji jiwa yang dapat meluruhkan dosa-dosa kecil dari seorang insan wanita. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setiap kesusahan yang dialami muslim merupakan peluruh bagi dosa-dosanya.

Maka… hatiku kini pedih… Ketika kemarin melihat saudariku yang lain, seiring dengan berjalannya waktu, kini telah membuka jilbabnya. Sempat kutanyakan, “Di mana jilbabnya?”

Ia menjawab, “Tidak sempat kupakai.”

Aih… waktu kutanyakan itu, memang pada saat dimana orang-orang sibuk menyelamatkan dirinya dikarenakan bencana alam. Aku hanya terdiam mendengar jawaban itu. Ah… mungkin karena sangat terkejutnya sehingga tidak sempat berbalik lagi untuk mengambil jilbab.

Tapi hari ini… kutemukan dia sudah menanggalkan jilbabnya. Bahkan tak tersisa sedikitpun jejak bahwa ia pernah memakai jilbab. Kini ia telah bercelana pendek dengan pakaian yang pendek pula. Sesak rasanya dada ini. Tetapi belum ada daya dari diriku untuk bertanya lagi tentang sebuah kain yang menutupi kepala dan dadanya. Masih tersisa di benakku, jika seseorang yang menggunakan jilbab melepas jilbabnya… maka habislah sudah… karena perenungan dan pergulatan hati itu kini telah dikalahkan oleh hawa nafsu. Perenungan yang pernah mendapatkan kemenangan dengan dikenakannya jilbab itu kini justru bahkan tak mau diingat. Hanya kepada Allah-lah aku mengadu dan memohonkan hidayah itu agar tetap ada bersamaku dan kembali ditunjukkan kepadanya.

Saudariku… kuingin meraih surga bersamamu. Maka, saat ini aku hanya bisa berdoa. Semoga kita bertemu di surga kelak…


Rabu, 14 Mei 2008

Kecantikan Sejati

Dikirim: Ummu Yusuf Wikayatu Diny
Muroja’ah: Ust Aris Munandar


Adalah kebahagiaan seorang laki-laki ketika Allah menganugrahkannya seorang istri yang apabila ia memandangnya, ia merasa semakin sayang. Kepenatan selama di luar rumah terkikis ketika memandang wajah istri yang tercinta. Kesenangan di luar tak menjadikan suami merasa jengah di rumah. Sebab surga ada di rumahnya; Baiti Jannati (rumahku surgaku).
Kebahagiaan ini lahir dari istri yang apabila suami memandangnya, membuat suami bertambah kuat jalinan perasaannya. Wajah istri adalah keteduhan, telaga yang memberi kesejukan ketika suami mengalami kegerahan. Lalu apakah yang ada pada diri seorang istri, sehingga ketika suami memandangnya semakin besar rasa sayangnya? Konon, seorang laki-laki akan mudah terkesan oleh kecantikan wajah. Sempurnalah kebahagiaan seorang laki-laki jika ia memiliki istri yang berwajah memikat.

Tapi asumsi ini segera dibantah oleh dua hal. Pertama, bantahan berupa fakta-fakta. Dan kedua, bantahan dari sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.

Konon, Christina Onassis, mempunyai wajah yang sangat cantik. Ia juga memiliki kekayaan yang sangat besar. Mendiang ayahnya meninggalkan harta warisan yang berlimpah, antara lain kapal pesiar pribadi, dan pulau milik pribadi juga. Telah beberapa kali menikah, tetapi Christina harus menghadapi kenyataan pahit. Seluruh pernikahannya berakhir dengan kekecewaan. Terakhir ia menutup kisah hidupnya dengan satu keputusan: bunuh diri.

Kecantikan wajah Christina tidak membuat suaminya semakin sayang ketika memandangnya. Jalinan perasaan antara ia dan suami-suaminya tidak pernah kuat.

Kasus ini memberikan ibroh kepada kita bahwa bukan kecantikan wajah secara fisik yang dapat membuat suami semakin sayang ketika memandangnya. Ada yang bersifat psikis, atau lebih tepatnya bersifat qalbiyyah!

Bantahan kedua, sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Seorang wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah yang taat beragama niscaya kamu akan beruntung.” (HR. bukhari, Muslim)

Hadist di atas sebagai penguat bahwa kesejukan ketika memandang sehingga perasaan suami semakin sayang, letaknya bukan pada keelokan rupa secara zhahir. Ada yang bersifat bathiniyyah.

Dengan demikian wahai saudariku muslimah, tidak mesti kita harus mempercantik diri dengan alat kosmetik atau dengan menggunakan gaun-gaun aduhai yang akhirnya akan membawa kita pada sikap berlebihan pada hal yang halal bahkan menyebabkan kita menjadi lalai dan meninggalkan segala yang bermanfaat dalam perkara-perkara akhirat, wal ‘iyadzubillah. Namun tidak berarti kita meninggalkan perawatan diri dengan menjaga fitrah manusia, dengan menjaga kebersihan, kesegaran dan keharuman tubuh yang akhirnya melalaikan diri dalam menjaga hak suami. Ada yang lebih berarti dari semua itu, ada yang lebih penting untuk kita lakukan demi mendapatkan cinta suami.

Sesungguhnya cinta yang dicari dari diri seorang wanita adalah sesuatu pengaruh yang terbit dari dalam jiwa dengan segala kemuliaannya dan mempunyai harga diri, dapat menjaga diri, suci, bersih, dan membuat kehidupan lebih tinggi di atas egonya.

Untuk itulah saudariku muslimah… Tuangkanlah di dalam dada dan hatimu dengan cinta dan kasih sayang serta tanamkanlah kemuliaan wanita muslimah seperti jiwamu yang penuh dengan kebaikan, perhatian serta kelembutan. Bukankah kita telah melihat contoh-contoh yang gemilang dari pribadi-pribadi yang kuat dari para shahabiyyah radiyallahu ‘anhunna…?

Janganlah engkau penuhi dirimu dengan ahlak yang selalu sedih dan gelisah, banyak pengaduan dan keluh kesah dan selalu mengancam, karena hal tersebut akan menggelapkan hatimu. Tersenyumlah untuk kehidupan. Seperti kuatnya para shahabiyyah dalam menghadapi kehidupan yang keras dan betapa kuatnya wanita-wanita yang lembut itu mempertahankan agamanya…

Perhiasan jiwa, itulah yang lebih utama. Yaitu sifat-sifat dan budi pekerti yang diajarkan Islam, yang diawali dengan sifat keimanan. Sebagaimana firman Allah, (yang artinya) “Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.” (QS. Al-Hujaraat: 7)

Apabila keimanan telah benar-benar terpatri dalam hati, maka akan tumbuhlah sifat-sifat indah yang menghiasi diri manusia, mulai dari Ketakwaan, Ilmu, Rasa Malu, Jujur, Terhormat, Berani, Sabar, Lemah Lembut, Baik Budi Pekerti, Menjaga Silaturrahim, dan sifat-sifat terpuji lainnya yang tidak mungkin disebut satu-persatu. Semuanya adalah nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada hamba-hambanya agar dapat bahagia hidup di dunia dan akhirat.

Wanita benar-benar sangat diuntungkan, karena ia memiliki kesempatan yang lebih besar dalam hal perhiasan jiwa dengan arti yang sesungguhnya, yaitu ketika wanita memiliki sifat-sifat terpuji yang mengangkat derajatnya ke puncak kemuliaan, dan jauh dari segala sesuatu yang dapat menghancurkanya dan menghilangkan rasa malunya….!

Saudariku… jika engkau telah menikah, maka nasihat ini untuk mengingatkanmu agar engkau selalu menampilkan kecantikan dirimu dengan kecantikan sejati yang berasal dari dalam jiwamu, bukan dengan kecantikan sebab yang akan lenyap dengan lenyapnya sebab.

Saudariku… jika saat ini Allah belum mengaruniai engkau jodoh seorang suami yang sholeh, maka persiapkanlah dirimu untuk menjadi istri yang sholihah dengan memperbaiki diri dari kekurangan yang dimiliki lalu tutuplah ia dengan memunculkan potensi yang engkau miliki untuk mendekatkan dirimu kepada Yang Maha Rahman, mempercantik diri dengan ketakwaan kepada Allah yang dengannya akan tumbuh keimanan dalam hatimu sehingga engkau dapat menghiasi dirimu dengan akhlak yang mulia.

Saudariku… ini adalah sebuah nasihat yang apabila engkau mengambilnya maka tidak ada yang akan diuntungkan melainkan dirimu sendiri.

Disalin dari: Buletin al-Izzah edisi no16/thn III/Muharram 1425 H

(Bulletin ini diterbitkan oleh Forkimus (Forum Kajian Islam Muslimah Salafiyah) Mataram, Lombok, NTB)

***

sumber: Artikel www.muslimah.or.id