tag:blogger.com,1999:blog-41945995294756928972024-02-20T02:08:13.210-08:00Rabbi...Zidni 'Ilman....ummu-umairhttp://www.blogger.com/profile/09677651236290550610noreply@blogger.comBlogger11125tag:blogger.com,1999:blog-4194599529475692897.post-24028598359545002242009-04-15T16:40:00.000-07:002009-04-15T16:42:25.473-07:00Rebutlah hati suamimu dengan bersegera menta’atinya<p style="text-align: justify;"><br /></p><p style="text-align: justify;">Istri yang bijak adalah istri yang dapat mengerti dan memahami kewajiban yang harus dilakukannya. Memahami bahwa mentaati suami merupakan salah satu kewajibannya. Dan bahwa mentaati suami dalam perkara yang bukan maksiat merupakan penyebab ia masuk ke dalam jannah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;"><span id="more-502"></span> Rasulullooh Shololloohi ‘alahi wassallaam telah bersabda:</p><div style="text-align: justify;"> <blockquote><p><em>“Apabila seorang wanita telah mengerjakan sholat lima waktu, puasa bulan ramadhon, menjaga kemaluannya, mentaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: “Masuklah jannah dari pintu manapun yang engkau suka”.</em> <strong>(Shahih Al-Jami’ Al Kabir)</strong></p></blockquote> </div><p style="text-align: justify;">Ketahuilah, kewajiban utama seorang istri terhadap suaminya adalah mentaatinya dalam perkara-perkara yang bukan maksiat dan tidak menyeret kepada mudhorat. Ketaatan istri ini akan memberikan pengaruh yang amat besar dalam menciptakan suasana keluarga yang harmonis. Dalam hadits tentang kisah delegasi kaum wanita, mereka menyebutkan tentang pahala yang diperoleh para lelaki dengan jihad, kemudian mereka bertanya, “Bagaimana kami dapat memperoleh keutamaan seperti demikian?”</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Maka Rasulullooh Shololloohi ‘alahi wassallaam bersabda:</p><div style="text-align: justify;"> <blockquote><p><em>“Sampaikan kepada para wanita yang kalian jumpai bahwa mentaati suami dan menunaikan hak-haknya dapat menyamai semua keutamaan itu…”</em> <strong>(HR. Al-Bazaar dan Ath-Thobrani)</strong></p></blockquote> </div><p style="text-align: justify;">Kewajiban kepada suami bukan berarti menihilkan kepribadianmu sebagai wanita. Bukan berarti hegemoni kaum lelaki terhadap wanita dan bukan pula berarti kehidupan rumah tangga menjadi ajang pertempuran, penentangan dan membuat keras kepala. Namun, merupakan kehidupan yang mana kesantunan menjadi ciri utamanya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Sesungguhnya ketaatan istri kepada suaminya secara ma’ruf dan kecintaannya kepada suaminya bisa mengangkat kedudukannya di sisi Allooh dan mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan baginya. Dan suaminya juga akan mentaatinya dan menuruti keinginannya yang syar’i. Dalam sebuah mutiara-mutiara hikmah, disebutkan: “Sebaik-baik istri adalah yang ta’at, mencintai, bijak, subur lagi penyayang, pendek lisan (tak cerewet) dan mudah diatur.”</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Suami akan sangat gembira ketika mendapatkan istrinya segera mentaatinya, tidak bermalas-malasan dalam menunaikan apa yang dikehendakinya, bahkan terkadang sampai pada taraf kedua-duanya memahami apa yang diingini oleh pasangannya, ia tidak perlu memikirkannya sebelum menyebutkannya.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Itu berarti engkau benar-benar mengharapkan ridha suamimu dan berusaha untuk meraihnya. Dan juga berarti engkau mengetahui jalan menuju jannah.</p><div style="text-align: justify;"> </div><p style="text-align: justify;">Rasulullooh Shololloohi ‘alahi wassallaam bersabda:</p><div style="text-align: justify;"> <blockquote><p><em>“siapa saja wanita yang meninggal sementara suaminya ridho terhadapnya maka ia pasti masuk jannah.”</em> <strong>(HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim)</strong></p></blockquote> </div><p style="text-align: justify;">Dikutip dari <em>Kuuni Zaujatan Naajihatan</em>, DR. Najla’ As-Sayyid Nayil.</p><p style="text-align: justify;">sumber: http://jilbab.or.id<br /></p>ummu-umairhttp://www.blogger.com/profile/09677651236290550610noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4194599529475692897.post-26148133987836207612009-04-07T01:21:00.000-07:002009-04-07T01:23:20.728-07:00Pelukan dan Cium Tangan<div style="text-align: justify;" class="PostHead"><div style="text-align: justify;"><div style="text-align: center;"> <span style="text-decoration: underline;"><span style="font-weight: bold;">Pelukan dan Cium Tangan</span></span><br /></div><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-weight: bold;"></span></span></div><span style="text-decoration: underline;"><span style="font-weight: bold;"><br /></span></span><small class="PostTime"><strong class="day"></strong></small>Penulis: Ustadz Aris Munandar</div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;" class="PostContent"> <p class="arab">قَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَحَدُنَا يَلْقَى صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ ؟ قَالَ : فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ . قَالَ : فَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ ؟ قَالَ : لاَ . قَالَ : فَيُصَافِحُهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ إِنْ شَاءَ.</p> <p>Ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah jika ada di antara kami yang berjumpa dengan temannya apakah boleh dia menundukkan badan kepadanya?” Jawab Nabi, <em>“Tidak boleh.”</em> “Apakah boleh memeluknya dan menciumnya”, tanya orang tersebut untuk kedua kalinya. Sekali lagi Nabi mengatakan, <em>“Tidak boleh”</em>. Berikutnya penanya kembali bertanya, “Apakah boleh menjabat tangannya?” Nabi bersabda, <em>“Boleh, jika dia mau.”</em> (HR Ahmad no. 13044 dari Anas bin Malik, dinilai hasan oleh Al Albani dalam <em>Silsilah Shahihah</em>, no. 160)</p> <p><span id="more-186"></span></p> <p>Dalam riwayat Ibnu Majah no 3833 dan dinilai hasan oleh Al Albani di sebutkan,</p> <p class="arab">قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَنْحَنِى بَعْضُنَا لِبَعْضٍ قَالَ « لاَ ». قُلْنَا أَيُعَانِقُ بَعْضُنَا بَعْضًا قَالَ « لاَ وَلَكِنْ تَصَافَحُوا ».</p> <p>Kami (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah apakah kami boleh saling menundukkan badan?” <em>“Tidak boleh,”</em> jawab Nabi dengan tegas. Kami juga bertanya, “Apakah kami boleh saling memeluk?” Nabi bersabda, <em>“Tidak boleh tapi boleh saling menjabat tangan.”</em></p> <p class="arab">قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِى لَهُ قَالَ « لاَ ». قَالَ أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ قَالَ « لاَ ». قَالَ أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ قَالَ « نَعَمْ ».</p> <p>Dalam riwayat Tirmidzi no 2947, ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah ada seorang di antara kami berjumpa dengan saudaranya atau temannya, apakah dia boleh menundukkan badan kepadanya?” Jawaban Nabi, <em>“Tidak boleh.”</em> “Apakah boleh memeluk dan menciumnya?”, tanya orang tersebut. <em>“Tidak boleh,”</em> jawab Nabi. “Apakah boleh memegang tangannya dan menjabatnya?”, tanya orang tersebut kembali. Jawaban Nabi, <em>“Boleh.”</em> Hadits ini dikomentari Tirmidzi, “Ini adalah hadits hasan.” Demikian pula Al albani. Juga disetujui oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalam <em>Talkhish</em>, no. 367.</p> <p>Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa larangan <a title="Pelukan dan Cium Tangan" href="http://muslimah.or.id/akhlaq/pelukan-dan-cium-tangan.html">berciuman</a> ketika bertemu dalam hadits di atas hanya berlaku jika motifnya adalah motif duniawi semisal karena orang tersebut kaya, berpangkat atau berkedudukan tinggi.</p> <p>Anggapan ini dikomentari Syaikh Al Albani sebagai berikut, “Ini adalah pemahaman yang batil karena para sahabat yang bertanya kepada Nabi sama sekali tidak bermaksud menanyakan ciuman dengan motif demikian, tapi yang ditanyakan adalah ciuman dengan motif penghormatan. Sebagaimana mereka bertanya tentang menundukkan badan, berpelukan dan berjabat tangan, semua itu dilakukan dengan motif penghormatan. Meski demikian tidak ada yang Nabi izinkan kecuali sekedar berjabat tangan. Apakah jabat tangan yang ditanyakan adalah jabat tangan dengan motif duniawi? Tentu tidak.</p> <p>Sehingga hadits di atas adalah dalil tegas menunjukkan tidak disyariatkannya berciuman ketika bertemu, namun hal ini tidak berlaku untuk anak dan istri sebagaimana dimaklumi.</p> <p>Sedangkan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi mencium beberapa sahabat dalam beberapa kesempatan semisal Nabi mencium dan memeluk Zaid bi Harits ketika Zaid tiba di kota Madinah. Nabi juga pernah mencium dan memeluk Abul Haitsam bin at Taihan, dll. maka disusukkan sebagai berikut.</p> <p><strong>Pertama</strong>, hadits-hadits tersebut adalah hadits-hadits yang cacat (baca: lemah) sehingga tidak bisa dipergunakan sebagai dalil. Mudah-mudahan kami bisa membahas secara khusus hadits-hadits tersebut dan menjelaskan kecacatannya, <em>insya Allah</em>.</p> <p><strong>Kedua</strong>, andai ada yang shahih maka hadits tersebut tidak bisa dipergunakan untuk menentang hadits yang jelas-jelas shahih di atas karena perbuatan mengandung banyak kemungkinan semisal itu adalah hukum khusus untuk Nabi atau kemungkinan lain yang memperlemah kekuatan hadits tersebut untuk melawan hadits di atas. Hadits di atas merupakan sabda nabi dan ditujukan untuk seluruh umat sehingga lebih kuat dari pada hadits yang menceritakan perbuatan Nabi.</p> <p>Adalah kaidah baku dalam ilmu ushul fiqh bahwa sabda Nabi itu lebih didahulukan dari pada perbuatan Nabi ketika terjadi pertentangan. Demikian dalil yang memuat larangan itu lebih diutamakan dari pada hadits yang memuat hukum boleh. Sedangkan hadits di atas adalah sabda Nabi dan berisi larangan sehingga harus lebih diutamakan dari pada hadits-hadits yang lain. Inilah yang kita katakan seandainya hadits-hadits tersebut shahih.</p> <p>Demikian pula yang kita katakan terkait dengan berpelukan dan saling mendekap saat bersua, perbuatan ini tidaklah disyariatkan karena dilarang dalam hadits di atas.</p> <p>Akan tetapi Anas mengatakan, “Para sahabat jika bertemu mereka saling <a title="Pelukan dan Cium Tangan" href="http://muslimah.or.id/akhlaq/pelukan-dan-cium-tangan.html">berjabat tangan</a> dan jika ada yang tiba dari bepergian mereka saling berpelukan.” (HR Thabrani dalam <em>al Ausath</em> dan para perawinya adalah para perawi dalam kitab shahih sebagaimana yang dikatakan oleh al Mundziri, 3/270 dan al Haitsami, 8/36).</p> <p>Juga diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Sya’bi, “Para sahabat Muhammad jika bertemu mereka saling berjabat tangan dan jika ada yang tiba dari bepergian mereka saling berpelukan.”</p> <p>Dari jabir bin Abdillah, “Aku mendengar adanya sebuah hadits dari seorang yang mendengar dari Rasulullah. Aku lantas membeli seekor unta lalu kupasang di atasnya pelana unta. Aku bepergian menuju tempat orang tersebut selama sebelum hingga akhirnya aku tiba di Syam dengan unta tersebut. Ternyata orang tersebut adalah Abdullah bin Anis. Aku lalu berkata kepada satpam, penjaga pintu, ‘Katakan padanya bahwa Jabir ada di depan pintu.’ Lalu dia bertanya, “Jabir bin Abdullah?” “Ya”, kataku. Abdullah lantas keluar dengan menginjak kainnya lalu memelukku dan aku pun memeluknya.” (HR Bukhari dalam <em>Adabul Mufrod</em>, no. 970 dan Ahmad 3/495, sanadnya hasan sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hafizh 1/195 dan diriwayatkan Bukhari dalam shahihnya tanpa sanad)</p> <p>Menimbang riwayatt-riwayat tersebut bisa kita katakan bahwa saling berpelukan sepulang bepergian diperbolehkan mengingat para sahabat melakukannya.</p> <p>Oleh karena itu andai hadits-hadits tentang berpelukan yang Nabi lakukan itu shahih maka itu hanya ditujukan kepada yang baru pulang dari bepergian.</p> <p>Sedangkan tentang mencium tangan terdapat banyak hadits dan riwayat dari salaf yang secara global menunjukkan bahwa hal itu memang benar-benar dari Nabi. Karenanya kami berpendapat boleh mencium tangan seorang ulama asal syarat-syarat berikut.</p> <p><strong>Pertama</strong>, hal itu tidak dijadikan sebagai kebiasaan sehingga seorang ulama terbiasa mengulurkan tangannya kepada murid-muridnya dan para murid terbiasa ngalap berkah dengan melakukan hal tersebut. Karena Nabi meski tangannya pernah dicium tapi itu sangat jarang. Jika demikian maka tidak boleh dijadikan kebiasaan yang terus menerus dilakukan sebagaimana diketahui dalam Qowaid Fiqhiyyah.</p> <p><strong>Kedua</strong>, cium tangan tersebut tidak menyebabkan sang ulama merasa sombong terhadap yang lain dan menganggap hebat dirinya sendiri sebagaimana realita sebagian kyai di masa ini.</p> <p><strong>Ketiga</strong>, cium tangan tersebut tidak menjadi sarana menihilkan sunnah yang sudah umum dikenal semisal sunnah berjabat tangan. Berjabat tangan disyariatkan dengan dasar perbuatan dan sabda Nabi. Berjabat tangan adalah sebab rontoknya dosa-dosa orang yang melakukannya sebagaimana yang terdapat dalam beberapa hadits. Karenanya tidak boleh menghilangkan jabat tangan disebabkan suatu hal yang kemungkinan tertingginya adalah sekedar boleh.” (<em>Silsilah Shahihah</em>, 1/249)</p> <p>***</p> <p>sumber: Artikel <a title="Pelukan dan Cium Tangan" href="http://muslimah.or.id/akhlaq/pelukan-dan-cium-tangan.html">www.muslimah.or.id</a></p> </div>ummu-umairhttp://www.blogger.com/profile/09677651236290550610noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4194599529475692897.post-3781299651366461062009-04-06T20:27:00.000-07:002009-04-06T20:31:34.429-07:00Cinta Sepanjang Masa<div style="text-align: center;" class="PostHead"> <small class="PostTime"> <strong class="day"><span style="font-size:130%;">Cinta Sepanjang Masa</span><br /></strong></small><small class="PostCat"><a href="http://muslimah.or.id/category/wanita-teladan" title="View all posts in Wanita Teladan" rel="category tag"></a></small> </div><div style="text-align: justify;"> </div><div style="text-align: justify;" class="PostContent"> <p>Ia adalah wanita yang terus hidup dalam hati suaminya sampaipun ia telah meninggal dunia. Tahun-tahun yang terus berganti tidak dapat mengikis kecintaan sang suami padanya. Panjangnya masa tidak dapat menghapus kenangan bersamanya di hati sang suami. Bahkan sang suami terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Sang suami terus mencintainya dengan kecintaan yang mendatangkan rasa cemburu dari istri yang lain, yang dinikahi sepeninggalnya. (Mazin bin Abdul Karim Al Farih dalam kitabnya <em>Al Usratu bilaa Masyaakil</em>)</p> <p><span id="more-202"></span></p> <p>Suatu hari istri beliau <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> yang lain (yakni ‘Aisyah <em>radhiyallahu ‘anha</em>) berkata, <em>“Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyebutnya.”</em> (HR. Bukhari)</p> <p>Ya, dialah Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza bin Qushai. Dialah wanita yang pertama kali dinikahi oleh Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>. Bersamanya, Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> membina rumah tangga harmonis yang terbimbing dengan wahyu di Makkah. Beliau <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> tidak menikah dengan wanita lain sehingga dia meninggal dunia.</p> <p>Saat menikah, <a title="Cinta sepanjang masa" href="http://muslimah.or.id/nasihat-untuk-muslimah/cinta-sepanjang-masa.html">Khadijah</a> <em>radhiyallahu ‘anha</em> berusia 40 tahun sementara Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> berusia 25 tahun. Saat itu ia merupakan wanita yang paling terpandang, cantik dan sekaligus kaya. Ia menikah dengan Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> tak lain karena mulianya sifat beliau, karena tingginya kecerdasan dan indahnya kejujuran beliau. Padahal saat itu sudah banyak para pemuka dan pemimpin kaum yang hendak menikahinya.</p> <p>Ia adalah wanita terbaik sepanjang masa. Ia selalu memberi semangat dan keleluasaan pada Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> untuk mencari kebenaran. Ia sendiri yang menyiapkan bekal untuk Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> saat beliau menyendiri dan beribadah di gua Hira’. Seorang pun tidak akan lupa perkataannya yang masyhur yang menjadikan Nabi merasakan tenang setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali yang pertama, <em>“Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka menyambung silaturahmi, menanggung kebutuhan orang yang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.”</em> (HR. Muttafaqun ‘alaih) (Mazin bin Abdul Karim Al Farih dalam kitabnya <em>Al Usratu bilaa Masyaakil</em>)</p> <p>Pun, saat suaminya menerima wahyu yang kedua berisi perintah untuk mulai berjuang mendakwahkan agama Allah dan mengajak pada tauhid, ia adalah wanita pertama yang percaya bahwa suaminya adalah utusan Allah dan kemudian menyatakan keislamannya tanpa ragu-ragu dan bimbang sedikit pun juga.</p> <p>Khadijah termasuk salah satu nikmat yang Allah anugerahkan pada Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em>. Dia mendampingi beliau selama seperempat abad, menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau pada saat-saat yang kritis, menolong beliau dalam menyebarkan risalah, mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat, juga rela menyerahkan diri dan hartanya pada beliau. (Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury di dalam <em>Sirah Nabawiyah</em>)</p> <p>Suatu kali ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata pada Rasulullah <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> setelah beliau menyebut-nyebut Khadijah, <em>“Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita lain selain Khadijah?!” Maka beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Khadijah itu begini dan begini.”</em> (HR. Bukhari)</p> <p>Dalam riwayat Ahmad pada Musnad-nya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “begini dan begini” adalah sabda beliau, <em>“Ia beriman kepadaku ketika semua orang kufur, ia membenarkan aku ketika semua orang mendustakanku, ia melapangkan aku dengan hartanya ketika semua orang mengharamkan (menghalangi) aku dan Allah memberiku rezeki berupa anak darinya.”</em> (Mazin bin Abdul Karim Al Farih dalam kitabnya <em>Al Usratu bilaa Masyaakil</em>)</p> <p>Karenanya saudariku muslimah, jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu maka sertailah dia dalam mencintai dan menegakkan agama Allah, sertailah dia dalam suka dan dukanya. Jadilah engkau seperti Khadijah hingga engkau kelak mendapatkan apa yang ia dapatkan. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Jibril mendatangi nabi <em>shallallahu ‘alaihi wa sallam</em> seraya berkata, <em>“Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di surga, yang di dalamnya tidak ada suara hiruk pikuk dan keletihan.”</em></p> <p>Saudariku muslimah, maukah engkau menjadi Khadijah yang berikutnya?</p> <p><strong>Maraji:</strong></p> <ol><li><em>Rumah Tangga tanpa Problema</em> (terjemahan dari <em>Al Usratu bilaa Masyaakil</em>) karya Mazin bin Abdul Karim Al Farih</li><li><em>Sirah Nabawiyah</em> (terj) karya Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury</li><li>Al Quran dan Terjemahnya</li></ol> <p>***</p> <p>Penyusun: Ummu Abdirrahman<br />Muroja’ah: ustadz Abu Salman<br />sumber: Artikel <a title="Cinta sepanjang masa" href="http://muslimah.or.id/nasihat-untuk-muslimah/cinta-sepanjang-masa.html">www.muslimah.or.id</a></p> </div>ummu-umairhttp://www.blogger.com/profile/09677651236290550610noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4194599529475692897.post-81373892191334313032008-07-15T02:29:00.000-07:002008-07-15T02:33:38.127-07:00<P id=shb3 style="TEXT-ALIGN: center"><b id=fr8r><FONT id=fr8r0 style="BACKGROUND-COLOR: #ff00ff" size=3>Kunci Syurga Muslimah</FONT></b></P> <P id=shb30 style="TEXT-ALIGN: justify"> </P> <P id=shb31 style="TEXT-ALIGN: justify">Surga adalah idaman dan harapan setiap orang beriman, laki-laki dan perempuan, ia adalah akhir perjalanan bagi semua orang yang taat dan patuh kepada Allah dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya, bagi seorang muslimah perkara ini penting karena Rasulullah saw telah menyatakan bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah wanita, dari sini mengetahui kunci surga oleh seorang muslimah merupakan perkara penting, dengan meraih kunci ini berarti dia tidak termasuk ke dalam golongan para wanita penghuni neraka.</P> <P id=shb32 style="TEXT-ALIGN: justify">Rasulullah saw telah merangkum kunci surga muslimah dalam empat perkara,<BR id=shb33>1- Menjaga shalat lima waktu.<BR id=shb34>2- Berpuasa di bulannya.<BR id=shb35>3- Menjaga kehormatannya.<BR id=shb36>4- Menaati suaminya.</P> <P id=shb37 style="TEXT-ALIGN: justify">Dari Abdurrahman bin Auf berkata, Rasulullah saw bersabda,</P> <P id=fk4g style="TEXT-ALIGN: right"><BR id=shb39><FONT id=fk4g0 size=4><b id=fk4g1>إِذَا صَلَّتِ المَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الجَنَّةِ شَاءَتْ .</b></FONT></P> <P id=shb310 style="TEXT-ALIGN: justify">“Jika seorang wanita menjaga shalat lima waktu, berpuasa pada bulannya, menjaga kehormatannya dan menaati suaminya, niscaya dia masuk surga dari pintu mana saja yang dia inginkan.”(HR. Ahmad nomor 1661, hadits hasan lighairihi).</P> <P id=shb311 style="TEXT-ALIGN: justify">Satu hal yang terpetik dari sabda Nabi saw di atas adalah bahwa beliau hanya menyebutkan perkara-perkara yang masuk ke dalam jangkauan seorang muslimah, di mana seorang muslimah mampu melaksanakannya tanpa bergantung kepada orang lain atau bergantung kepada suaminya, di sini Rasulullah saw tidak menyinggung, misalnya, haji, karena pelaksanaan ibadah ini oleh seorang muslimah bergantung kepada suatu perkara yang mungkin tidak dimilikinya, seperti tersedianya bekal haji atau tersedianya mahram, di sini Rasulullah saw juga tidak menyinggung zakat, karena perkaranya kembali kepada kepemilikan harta dan pada umumnya ia berada di tangan kaum laki-laki, karena harta adalah hasil bekerja dan yang bekerja pada dasarnya adalah kaum laki-laki.</P> <P id=shb312 style="TEXT-ALIGN: justify">Kunci pertama, menjaga shalat lima waktu</P> <P id=shb313 style="TEXT-ALIGN: justify">Shalat adalah ibadah teragung, hadir setelah ikrar dua kalimat syahadat, satu-satunya ibadah yang tidak menerima alasan ‘tidak mampu’, wajib dikerjakan dalam keadaan apa pun selama hayat masih dikandung badan dan akal masih bekerja dengan baik, pembatas antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan, tidak heran jika suatu ibadah dengan kedudukan seperti ini merupakan salah satu kunci surga.</P> <P id=shb314 style="TEXT-ALIGN: justify">Jika menjaga shalat adalah kunci surga, maka sebaliknya menyia-nyiakannya adalah gerbang neraka, ketika para pendosa dicampakkan ke dalam neraka, mereka ditanya, apa yang membuat kalian tersungkur ke dalam neraka? Mereka menyebutkan rentetan dosa-dosa yang diawali dengan meninggalkan shalat.</P> <P id=shb315 style="TEXT-ALIGN: justify">Firman Allah, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?’ Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.”(Al-Muddatstsir: 42-43).</P> <P id=shb316 style="TEXT-ALIGN: justify">Perkara menyia-nyiakan shalat tidak jarang terjadi pada kaum muslimin secara umum dan kaum muslimat secara khusus, banyak alasan dan hal yang membuat mereka terjerumus ke dalam perbuatan tidak terpuji ini, di antara mereka ada yang menyia-nyiakan shalat karena malas dan meremehkan, di antara mereka ada yang terlalaikan oleh kesibukan hidup, sibuk bekerja, sibuk memasak, sibuk mengurusi rumah tangga, sibuk mengurusi anak-anak dan suami, sibuk dengan kegiatan-kegiatan lainnya sehingga ibadah shalat terbengkalai, padahal ibadah shalat tidak menerima alasan apa pun yang membuatnya tersia-siakan, dan Allah telah memperingatkan kaum muslimin agar tidak terlalaikan oleh dunia dari mengingatNya, termasuk mengingatNya melalui ibadah shalat.</P> <P id=shb317 style="TEXT-ALIGN: justify">Firman Allah, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Munafiqun: 9).</P> <P id=shb318 style="TEXT-ALIGN: justify">Menjaga shalat lima waktu mencakup menjaga waktunya dalam arti melaksanakannya tepat waktu, tidak menundanya dan mengulur-ulur waktunya sampai waktunya hampir habis, atau bahkan membiarkannya habis, ini adalah shalat orang-orang munafik, dan seorang muslimah tidak patut bermental munafik dalam ibadah shalat.</P> <P id=shb319 style="TEXT-ALIGN: justify">Menjaga shalat mencakup menjaga syarat-syarat dan rukun-rukunnya di mana shalat tidak sah tanpanya, menjaga wajib-wajib dan sunnah-sunnahnya yang merupakan penyempurna bagi ibadah shalat, semua ini menuntut seorang muslimah untuk belajar dan membekali diri dengan ilmu yang shahih tentang shalat. Tanpa ilmu yang shahih tidak akan terwujud menjaga shalat.</P> <P id=shb320 style="TEXT-ALIGN: justify">Kunci kedua, berpuasa di bulannya</P> <P id=shb321 style="TEXT-ALIGN: justify">Puasa di bulan Ramadhan adalah salah satu kunci surga, lebih dari itu di surga tersedia sebuah pintu khusus bagi orang-orang yang berpuasa yang dikenal dengan ‘ar-Rayyan’, pintu masuk para shaimin secara khusus, jika mereka telah masuk maka ia akan ditutup.<BR id=shb322>Di samping berpuasa sebagai kunci surga, ia juga merupakan tameng dan pelindung dari neraka, Rasulullah saw menyatakan, ash-shaumu junnah, puasa adalah tameng atau pelindung, yakni dari api neraka.</P> <P id=shb323 style="TEXT-ALIGN: justify">Karena puasa merupakan salah satu kunci surga sekaligus pelindung dari neraka maka seorang muslimah harus menjaganya, dalam arti melaksanakannya dengan baik, memperhatikan syarat, rukun dan pembatalnya, karena tanpanya dia tidak mungkin berpuasa dengan baik.</P> <P id=shb324 style="TEXT-ALIGN: justify">Seorang muslimah juga harus memperhatikan perkara qadha puasa Ramadhan di hari-hari lain jika dia mendapatkan halangan pada bulan Ramadhan sehingga tidak mungkin berpuasa secara penuh, jangan sampai Ramadhan berikut hadir sementara dia belum melunasi hutang puasanya, perkara mengqadha puasa di hari lain ini sering terlupakan atau terabaikan, karena kesibukan hidup, padahal ia adalah hutang yang jika tidak dilaksanakan maka seorang muslimah tidak bisa dikatakan telah berpuasa di bulannya, selanjutnya dia gagal meraih kunci kedua dari kunci-kunci masuk surga, dari sini bersikap hati-hati dengan menyegerakan qadha adalah sikap bijak, karena penundaan terkadang malah merepotkan dan menyulitkan.<BR id=shb325>(Izzudin Karimi) </P> <P id=rsym style="TEXT-ALIGN: justify"> </P> <P id=rsym0 style="TEXT-ALIGN: justify">Diambil dari: <A id=wr9c href="http://www.alsofwah.or.id">www.alsofwah.or.id</A></P>ummu-umairhttp://www.blogger.com/profile/09677651236290550610noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4194599529475692897.post-68207647935787573732008-07-10T21:12:00.000-07:002008-07-15T02:46:46.147-07:00<P id=h6sw style="TEXT-ALIGN: center"><B id=fisu><FONT id=fisu0 style="BACKGROUND-COLOR: #ff00ff" size=3>Susu Ibu adalah Makanan Terbaik bagi Bayi</FONT></B></P> <P id=eimu style="TEXT-ALIGN: justify"> </P> <P id=eimu0 style="TEXT-ALIGN: justify">Berikut artikel yang diambil dari web: <A id=eimu1 href="http://www.alsofwah.or.id">www.alsofwah.or.id</A>. Semoga bermanfaat.</P> <P id=eimu2 style="TEXT-ALIGN: justify"> </P> <P id=eimu3 style="TEXT-ALIGN: justify"><B id=sl6x>Tugas dan Beban Ibu: Menyusui</B> </P> <P id=h6sw0 style="TEXT-ALIGN: justify"> </P> <P id=h6sw1 style="TEXT-ALIGN: justify">Fase menyusu termasuk fase terpenting yang dilalui oleh anak, peran ibu dalam fase ini sangat penting, oleh karena itu Allah tidak menyerahkan persoalannya kepada seseorang, akan tetapi Dia menurunkan ayat yang terbaca sepanjang waktu dan zaman, demi menegaskan di setiap tempat dan waktu pentingnya menyusui secara alami bagi ibu dan bayi sekaligus. <BR id=h6sw2><BR id=h6sw3>Firman Allah Ta’ala, <I id=h6sw4>“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” </I>(Al-Baqarah: 233). <BR id=h6sw5><BR id=h6sw6>Dalam Tafsir al-Qurthubi rhm tentang firman Allah, <I id=h6sw7>“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya,”</I> disebutkan ucapan adh-Dhahhak yang berkata, “Para ibu lebih berhak menyusui anak-anak mereka daripada wanita lain karena mereka lebih sayang dan lebih lembut, menjauhkan anak dari ibu merugikan keduanya.” <BR id=h6sw8><BR id=h6sw9>FirmanNya, <I id=h6sw10>“Selama dua tahun.”</I> Yakni sempurna bagi siapa yang hendak menyempurnakan susuan, ini menunjukkan bahwa menyusui selama dua tahun bukan merupakan hak, boleh menyapih sebelum itu, dan hal ini bersifat kondisional. <BR id=h6sw11><BR id=h6sw12>Firman Allah, <I id=h6sw13>“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang tuanya: ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKu-lah kembalimu.</I>” (Luqman: 14). <BR id=h6sw14><BR id=h6sw15>Firman Allah, <I id=h6sw16>“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula), mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.</I>”(Al-Ahqaf: 15). <BR id=h6sw17><BR id=h6sw18>Dalam Tafsir al-Qurthubi disebutkan ucapan Ibnu Abbas yang berkata, “Kedua ayat ini tentang anak, dia berdiam di dalam rahim selama enam bulan, jika dia berdiam selama tujuh bulan maka susuannya selama dua puluh tiga bulan, jika dia berdiam selama delapan bulan maka susuannya dua puluh dua bulan, jika dia berdiam selama sembilan bulan maka susuannya selama dua puluh satu bulan berdasarkan firman Allah, “<I id=h6sw19>Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.</I>”(Al-Ahqaf: 15). Dari sini maka masa kehamilan dan menyusui saling berkaitan, sebagian mengambil yang lain. <BR id=h6sw20><BR id=h6sw21>Ini tentang masa menyusui, adapun tentang hukum menyusui maka Allah berfirman, “<I id=h6sw22>Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.</I>” (Al-Baqarah: 233). Al-Bukhari meriwayatkan dari Yunus dari az-Zuhri berkata, “Allah melarang menyengsarakan ibu karena anaknya, ibu berkata, ‘aku tidak menyusuinya’, padahal susu ibu adalah makanan terbaik bagi bayi, ibu lebih sayang dan lebih lembut kepada anak daripada selainnya, ibu tidak berhak menolak menyusui setelah bapak memberikan kepadanya apa yang Allah wajibkan atas dirinya, bapak tidak boleh menyengsarakan ibu karena anaknya, bapak tidak menghalangi ibu menyusui anaknya dan menyerahkan anak kepada orang lain untuk menyusahkan ibu. Tidak ada dosa bagi keduanya menyusukan anak kepada orang lain dengan musyawarah dari bapak dan ibu, <I id=h6sw23>“Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.</I>” (Al-Baqarah: 233). Setelah dicapai kesepakatan di antara mereka berdua.” <BR id=h6sw24><BR id=h6sw25>Melihat pentingnya menyusui secara alami bagi bayi, Allah swt menetapkan nafkah untuk ibu menyusui bahkan sesudah dia ditalak, hal ini agar anak tidak sengsara karena disia-siakan dengan tidak mendapatkan nafkah dari bapak melalui ibu. Allah juga mendorong para ibu agar menyusui anak-anaknya, firman Allah, <I id=h6sw26>“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, ‘Susuilah dia.</I>” (Al-Qashash: 7). <BR id=h6sw27><BR id=h6sw28>Karena susuan paling utama dan terbaik adalah yang langsung dihisap dari payudara ibu yang sehat setelah persalinan, susu ini adalah makanan alami yang pas untuk bayi, Allah telah menyiapkannya dengan kadar dan ukuran tertentu yang tidak tertandingi oleh susu jenis apapun, meskipun ia diklaim baik dari segi mutu dan kadarnya. <BR id=h6sw29><BR id=h6sw30>Kedokteran modern telah menetapkan manfaat-manfaat dari menyusui secara alami bagi anak dari segi kesehatan dan kejiwaan, di antara segi kesehatan adalah: <BR id=h6sw31><BR id=h6sw32>1- ASI adalah makanan terbaik bagi bayi, ia steril yang selalu siap karena tidak terkontaminasi oleh virus sebagaimana dalam susuan melalui botol, di samping itu suhu panas ASI sesuai dengan suhu panas bayi dan lebih dari itu gratis tanpa perlu biaya. <BR id=h6sw33><BR id=h6sw34>2- ASI mudah dicerna karena ia mengandung zat-zat pencerna yang justru membantu usus untuk mencerna. <BR id=h6sw35><BR id=h6sw36>3- ASI tidak tertandingi oleh susu apapun karena ia diciptakan dan disusun demi memenuhi kebutuhan bayi hari demi hari, susunan kolostrum, cairan berwarna kuning yang dihasilkan oleh payudara sesaat setelah persalinan, mengandung kadar protein lunak yang pas dan zat-zat imun yang melawan mikroba dan virus, maka bayi tumbuh dan dia memiliki kekuatan melawan penyakit. <BR id=h6sw37><BR id=h6sw38>4- Bayi tumbuh dan berkembang sehat dan selamat dari penyakit jika dia menyusu secara alami, pada saat yang sama menyusu dari botol membuat bayi riskan terkena beberapa penyakit seperti peradangan, diare dengan berbagai macamnya, tersedak dan masih banyak lagi. <BR id=h6sw39><BR id=h6sw40>Adapun dari segi kejiwaan maka kedokteran jiwa modern telah mengatakan bahwa menyusui secara alami menguatkan jalinan emosi antara ibu dengan bayinya, menjadikan ibu lebih sayang dan perhatian kepada bayinya, menyusui bukan proses sebatas materi, akan tetapi ia adalah jalinan maknawi dan pembentukan jiwa bagi bayi yang disusui. <BR id=h6sw41>(Izzudin Karimi)</P>ummu-umairhttp://www.blogger.com/profile/09677651236290550610noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4194599529475692897.post-58349887146022805822008-07-10T20:58:00.000-07:002008-07-10T20:59:37.711-07:00<P class=judul id=b40x style="TEXT-ALIGN: center"><FONT id=b40x0 style="BACKGROUND-COLOR: #ff00ff"><b id=b40x1>Hukum Menghilangkan Rambut yang Tumbuh Di Wajah Wanita<BR id=b40x2></b></FONT></P> <P class=konten id=b40x3> </P> <P id=b40x4 align=justify> </P> <P id=b40x6 align=justify><B id=b40x7>TANYA</B>: <BR id=b40x8><BR id=b40x9><I id=b40x10>Bagaimana hukum menghilangkan rambut yang tumbuh pada muka wanita?</I> <BR id=b40x11><BR id=b40x12><B id=b40x13>JAWAB</B>: <BR id=b40x14><BR id=b40x15>Jika rambut tersebut adalah rambut yang biasa tumbuh (rambut halus), maka tidak boleh menghilangkannya, berdasarkan hadits bahwa Rasulullah a melaknat wanita yang mencukur dan yang meminta cukur rambut halus yang tumbuh pada muka dan bulu alis.* <BR id=b40x16><BR id=b40x17>Adapun yang dimaksud mencukur rambut dalam hadits ini ialah mencabut atau menghilangkan rambut yang tumbuh pada muka dan bulu dua alis. <BR id=b40x18><BR id=b40x19>Sedangkan menghilangkan atau mencukur rambut tambahan yang dapat memperburuk rupa, seperti kumis dan jenggot, maka hal itu tidak menjadi masalah membuangnya dan tidak berdosa karena ia dapat memperburuk rupa dan memudharatkannya. <BR id=b40x20><BR id=b40x21>(SUMBER: Fatwa Syaikh Ibnu Baz, <I id=b40x22>Majalah al-Buhuts</I>, no. 37: 170-171. Lihat, FATWA-FATWA TERKINI, DARUL HAQ) <BR id=b40x23><BR id=b40x24><B id=b40x25>NB</B>: <BR id=b40x26><BR id=b40x27>* Al-Bukhari bab at-Tafsîr (4886); Muslim bab Pakaian (2125)</P> <P id=b40x28 align=justify>Dinukil dari: <A id=u.xj href="http://www.alsofwah.or.id">www.alsofwah.or.id</A></P>ummu-umairhttp://www.blogger.com/profile/09677651236290550610noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4194599529475692897.post-36007779928156889592008-07-10T20:41:00.000-07:002008-07-10T20:47:37.684-07:00Antara Malu Dan Iman<p id="q9q8" style="TEXT-ALIGN: center"><span id="q9q80" style="BACKGROUND-COLOR: #ff00ff;font-size:130%;" ><b id="q9q81">Antara Malu Dan Iman<br id="yflu0"></b></span></p><p class="konten" id="yflu1"></p><p id="yflu2" style="TEXT-ALIGN: right"></p><p id="eqhf" dir="rtl" style="TEXT-ALIGN: right"><span id="q9q83" style="font-size:130%;">عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو اْلأَنْصَارِيِّ الْبَدْرِيِّ رضي الله عنه، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُولَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ</span> <br id="yflu4"><br id="yflu5"></p><p id="eqhf0" style="TEXT-ALIGN: justify">Dari Abu Mas'ud Uqbah bin Amr al-Anshari al-Badri RA, me-ngatakan, Rasulullah SAW bersabda, <i id="yflu7">"Salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari ucapan para nabi terdahulu: Jika kamu tidak malu, maka lakukan apa yang kamu suka."</i> (HR. al-Bukhari)* <br id="yflu8"><br id="yflu9"><b id="yflu10">SYARAH <br id="yflu11"><br id="yflu12">Imam an-Nawawi berkata</b>: <br id="yflu13"><br id="yflu14">Sabdanya, <i id="yflu15">"Jika kamu tidak malu, maka lakukan sesukamu." </i>Artinya, jika kamu hendak melakukan sesuatu; bila ia termasuk perkara yang tidak membuat malu untuk dikerjakan, baik terhadap Allah maupun manusia, maka lakukanlah. Jika tidak, maka jangan laku-kan. Pada hadits inilah berputar poros Islam seluruhnya. Berdasarkan hadits ini, maka sabdanya, <i id="yflu16">"maka lakukan apa yang kamu suka"</i> adalah perintah mubah. Karena, jika perbuatan itu tidak dilarang secara syar'i, ia adalah mubah. Sebagian ulama ada yang menafsirkan hadits ini, bahwa jika kamu tidak malu kepada Allah SWT dan tidak merasa mendapat pengawasanNya, maka ikuti keinginan nafsumu dan la-kukan sesukamu. Dengan demikian, perintah ini untuk tahdid (ancam-an), bukan kebolehan. Ini seperti firmanNya, <i id="yflu17">"Perbuatlah apa yang kamu kehendaki." </i>(Fushshilat: 40). <br id="yflu18"><br id="yflu19">Dan seperti firmanNya, <i id="yflu20">"Dan kacaukanlah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu." </i>(Al-Isra': 64) <br id="yflu21"><br id="yflu22"><b id="yflu23">Imam Ibnu Daqiq berkata</b>: <br id="yflu24"><br id="yflu25">Makna sabdanya, <i id="yflu26">"Dari ucapan para nabi terdahulu…"</i> bahwa malu itu senantiasa terpuji, dinilai baik lagi diperintahkan, yang tidak dihapus dalam berbagai syariat para nabi terdahulu. <br id="yflu27"><br id="yflu28">Sabdanya, <i id="yflu29">"Lakukan apa yang kamu suka," </i>di dalamnya terdapat dua tinjauan: <br id="yflu30"><i id="yflu31"><b id="yflu32">Pertama, </b></i>lafal tersebut berbentuk perintah dengan makna ancaman, dan tidak dimaksudkan sebagai perintah, seperti firmanNya, <i id="yflu33">"Perbuatlah apa yang kamu kehendaki." </i>(Fushshilat: 40). Ini ancaman, karena Allah telah menjelaskan kepada mereka tentang apa yang mereka kerjakan dan apa yang mereka tinggalkan. Juga seperti sabda Nabi SAW, <br id="yflu34"></p><p id="yflu35" dir="rtl" style="TEXT-ALIGN: justify">مَنْ بَاعَ اْلخَمْرَ فَلْيُشَقِّصِ اْلخَنَازِيْرَ.</p><p id="eqhf1" style="TEXT-ALIGN: justify"><br id="yflu37"><br id="yflu38"></p><p id="eqhf2" style="TEXT-ALIGN: justify"><i id="yflu40">"Barangsiapa yang menjual khamar, hendaklah ia memotong-motong babi.",** </i><br id="yflu41"><br id="yflu42">Di dalam hadits ini tidak ada kandungan yang membolehkan memotong babi. <br id="yflu43"><i id="yflu44"><b id="yflu45">Kedua, </b></i>maknanya, kerjakan segala yang tidak membuat malu ketika pelakunya menampakkannya. Senada dengan ini, ialah sabda beliau SAW, <br id="yflu46"></p><p id="yflu47" dir="rtl" style="TEXT-ALIGN: justify">الحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ.</p><p id="eqhf3" style="TEXT-ALIGN: justify"><br id="yflu49"></p><p id="eqhf4" style="TEXT-ALIGN: justify"><i id="yflu51">"Malu itu sebagian dari iman." </i><br id="yflu52"><br id="yflu53">Artinya, ketika malu itu menghalangi pelakunya dari berbagai kenistaan dan membawanya kepada kebajikan, sebagaimana iman menghalanginya orang yang beriman dari kenistaan tersebut dan membawanya kepada ketaatan, maka ia berkedudukan sebagai iman karena menyamainya dalam hal itu. Wallahu a'lam. <br id="yflu54"><br id="yflu55"><b id="yflu56">Syaikh Ibnu Utsaimin berkata</b>: <br id="yflu57"><br id="yflu58">Sabdanya, <i id="yflu59">"Salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari ucapan para nabi terdahulu, Jika kamu tidak malu, maka lakukan apa yang kamu suka." </i>Yakni, salah satu peninggalan para nabi terdahulu yang terdapat pada umat-umat sebelumnya, dan diakui oleh syariat ini, <i id="yflu60">"Jika kamu tidak malu, maka lakukan apa yang kamu suka." </i>Artinya, jika kamu melakukan suatu perbuatan yang tidak membuat malu, maka lakukan sesukamu. Ini salah satu dari dua tinjauan. Yakni, lakukanlah dalam pengertian ini. <br id="yflu61"><br id="yflu62">Aspek kedua, jika manusia tidak punya rasa malu, maka ia melakukan sesukanya dan tidak peduli. Kedua makna ini benar. <br id="yflu63"><br id="yflu64"><b id="yflu65">Faedah Hadits</b> <br id="yflu66"><br id="yflu67">Rasa malu itu merupakan salah satu perkara yang dibawa oleh syariat-syariat terdahulu, dan manusia semestinya bersikap tegas. Jika sesuatu tidak membuat malu, maka silahkan melakukannya. Kemutlakan ini dibatasi dengan sesuatu yang bila dikerjakan akan mendatangkan kerugian. Ia dilarang dikerjakan, karena mengkhawatirkan mafsadahnya. <br id="yflu68"><br id="yflu69"><b id="yflu70">CATATAN KAKI</b>: <br id="yflu71"><br id="yflu72">* HR. al-Bukhari, no. 3483, 3484, 6120 <br id="yflu73"><br id="yflu74">** Hadits dha'if: Ahmad, 4/253; Abu Daud, no. 3489; ad-Darimi, 2/ 155; al-Baihaqi dalam <i id="yflu75">al-Kubra</i>, 6/ 12; ath-Thabrani dalam <i id="yflu76">al-Ausath</i>, 8/ 245; dan didhaifkan al-Albani dalam <i id="yflu77">Dha'if al-Jami'</i>, no. 5499. <br id="yflu78"><br id="yflu79">Berkata muallif <i id="yflu80">an-Nihayah fi Gharib</i> al-Hadits, "Ini adalah kata perintah tetapi maknanya adalah larangan. Dan berkata Muhammad Syamsul Haq Abadi, 'Makna hadits ini adalah mempertegas dan memperkuat haramnya khamar'." Lihat <i id="yflu81">Aun al-Ma'bud, </i>(editor). <br id="yflu82">*** Muttafaq alaih: al-Bukhari, no. 24; dan Muslim, no. 36 </p><p id="kb2." style="TEXT-ALIGN: justify"></p><p id="kb2.0" style="TEXT-ALIGN: justify">Dinukil dari: <a id="kb2.1" href="http://www.alsofwah.or.id/">www.alsofwah.or.id</a></p></td>ummu-umairhttp://www.blogger.com/profile/09677651236290550610noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4194599529475692897.post-40010650540631167102008-05-28T04:25:00.000-07:002008-07-10T20:47:05.530-07:00<h1 id="ttp70" style="text-align: center; background-color: rgb(255, 0, 255);"><font id="ttp71" size="4"> NIFAS DAN HUKUM-HUKUMNYA</font></h1> <div id="pvx80" style="text-align: center;">Oleh<br id="vfo52"> Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin<br id="vfo53"> http://www.almanhaj.or.id/content/1684/slash/0<br id="ttp72"></div><br id="vfo54"> <b id="qzm:0">Makna Nifas</b><br id="vfo55"><div id="vfo56" style="text-align: justify;"> <br id="vfo57"> Nifas ialah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya ( 2 atau 3 hari) yang disertai dengan rasa sakit.<br id="vfo58"> <br id="vfo59"> Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit adalah nifas." Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnva yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas.<br id="vfo510"> <br id="vfo511"> Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh Pembawa syari'at, halaman 37 Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang wanita mendapati darah lebih dari 40,60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits."<br id="vfo512"> <br id="vfo513"> Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, padahal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti setelah masa (40 hari) itu, maka hendaklah hal tersebut dijadikan sebagai patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang.<br id="vfo514"> <br id="vfo515"> Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini,hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan pada pasal sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa dan boleh digauli oleh suaminya.Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalam kitab Al-Mughni.<br id="vfo516"> <br id="vfo517"> Nifas tidak dapat ditetapkan, kecualijika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia. Seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukanlah darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku baginya adalah hukum wanita mustahadhah.<br id="vfo518"> <br id="vfo519"> Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari. Menurut Al-Majd Ibnu Taimiyah, sebagaimana dinukil dalam kitab Syarhul Iqna': "Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas). Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila sesudah kelahiran temyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak teryata demikian, tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak pedu kembali mengerjakan kewajiban"<br id="vfo520"> <br id="vfo521"><b id="qzm:1"> Hukum-Hukum Nifas</b><br id="vfo522"> <br id="vfo523"> Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut ini: <br id="vfo524"> <br id="vfo525"> [a]. Iddah. dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab, jika talak jatuh sebelum isteri melahirkan iddahnya akan habis karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu sampai haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.<br id="vfo526"> <br id="vfo527"> [b]. Masa ila'. Masa haid termasuk hitungan masa ila', sedangkan masa nifas tidak.<br id="vfo528"> <br id="vfo529"> Ila' yaitu jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli isterinya selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan. Apabila dia bersumpah demikian dan si isteri menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari saat bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut, suami diharuskan menggauli isterinya, atau menceraikan atas permintaan isteri. Dalam masa ila' selama empat bulan bila si wanita mengalami nifas, tidak dihitung terhadap sang suami, dan ditambahkan atas empat bulan tadi selama masa nifas. Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.<br id="vfo530"> <br id="vfo531"> [c]. Baligh. Masa baligh terjadi denganhaid, bukan dengan nifas. Karena seorang wanita tidakmungkinbisa hami sebelum haid, maka masabaligh seorang wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.<br id="vfo532"> <br id="vfo533"> [d]. Darah haid jika berhenti lain kembali keluar tetapi masih dalam waktu biasanya, maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya, seorang wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan kedelapan; maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah darah haid.<br id="vfo534"> <br id="vfo535"> Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya dan terlarang baginya apa yang terlarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha' apa yang diperbuatnya selama keluarya darah yang diragukan, yaitu yang wajib diqadha' wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menunut para fuqaha ' dari Madzhab Hanbali.<br id="vfo536"> <br id="vfo537"> Yang benar, jika darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas maka termasuk nifas. Jika tidak, maka darah haid. Kecuali jika darah itu keluar terus menerus maka merupakan istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan dalam kitab AI-Mughni' bahwa Imam Malik mengatakan:<br id="vfo538"> <br id="vfo539"> "Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari, yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas.<br id="vfo540"> <br id="vfo541"> Jika tidak, berarti darah haid." Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.<br id="vfo542"> <br id="vfo543"> Menurut kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam masalah darah. Namun, keragu-raguan adalah hal yang relatif, masing-masing orang berbeda dalam hal ini sesuai dengan ilmu dan pemahamannya. Padahal Al-Qur'an dan Sunnah berisi penjelasan atas segala sesuatu.<br id="vfo544"> <br id="vfo545"> Allah tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua kali, kecuali jika ada kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat diatasi kecuali dengan mengqadha'. Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya maka ia telah terbebas dari tanggungannya. Sebagaimana firman Allah:<br id="vfo546"> <br id="vfo547"> "Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan.. " [Al-Baqarah: 286]<br id="vfo548"> <br id="vfo549"> "Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu ..." [At-Taghabun : 16]<br id="vfo550"> <br id="vfo551"> [e]. Dalam haid,jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh menggaulinya, menurut yang masyhur dalam madzhab Hanbali.<br id="vfo552"> <br id="vfo553"> Yang benar,menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar'i yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al-Ash bahwa isterinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata: "Jangan kau dekati aku !".<br id="vfo554"> <br id="vfo555"> Ucapan Utsman tersebut tidak berarti suami terlarang menggauli isterinya karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati Ustman, yaknik hawatir kalau isterinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab lainnya. Wallahu a 'lam. <br id="vfo556"> <br id="vfo557"> <br id="vfo558"> [Disalin dari buku Risalah Fid Dimaa' Ath-Thabii'iyah Lin-Nisa' Penulis Syaikh Muhammad bin Shaleh Al 'Utsaimin, dengan edisi Indonesia Darah Kebiasaan Wanita hal 53 - 57 terbitan Darul Haq, Penerjemah Muhammad Yusuf Harin. MA] </div>ummu-umairhttp://www.blogger.com/profile/09677651236290550610noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4194599529475692897.post-43113708534446485852008-05-26T07:20:00.000-07:002008-07-10T20:47:05.544-07:00<h2 id="htld0"></h2><div id="htld1"><h1 id="htld2" style="text-align: center; background-color: rgb(255, 0, 255);"><font id="htld3" size="4">Saudariku... Berjilbablah Sesuai Ajaran Nabimu!</font></h1> <div id="hofl0" style="text-align: center;">Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi<br id="htld4"></div><br id="htld5"></div><div id="htld6" style="text-align: justify;" class="PostContent"> <p id="htld7">Islam adalah ajaran yang sangat sempurna, sampai-sampai cara berpakaian pun dibimbing oleh Alloh Dzat yang paling mengetahui apa yang terbaik bagi diri kita. Bisa jadi sesuatu yang kita sukai, baik itu berupa model pakaian atau perhiasan pada hakikatnya justru jelek menurut Alloh. Alloh berfirman, <i id="htld8">“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal itu adalah baik bagimu dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal sebenarnya itu buruk bagimu, Alloh lah yang Maha mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.”</i> (Al Baqoroh: 216)<i id="htld9">.</i> Oleh karenanya marilah kita ikuti bimbingan-Nya dalam segala perkara termasuk mengenai cara berpakaian.</p> <p id="htld10"> <b id="htld11">Perintah dari Atas Langit</b></p> <p id="htld12">Alloh Ta’ala memerintahkan kepada kaum muslimah untuk berjilbab sesuai syari’at. Alloh berfirman, <i id="htld13">“Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu serta para wanita kaum beriman agar mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka mudah dikenal dan tidak diganggu orang. Alloh Maha pengampun lagi Maha penyayang.”</i> (Al Ahzab: 59)</p> <p id="htld14"><b id="htld15">Ketentuan Jilbab Menurut Syari’at</b></p> <p id="htld16">Berikut ini beberapa ketentuan jilbab syar’i ketika seorang muslimah berada di luar rumah atau berhadapan dengan laki-laki yang bukan mahrom <i id="htld17">(<b id="htld18">bukan ‘muhrim’</b>, karena muhrim berarti orang yang berihrom)</i> yang bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shohihah dengan contoh penyimpangannya, semoga Alloh memudahkan kita untuk memahami kebenaran dan mengamalkannya serta memudahkan kita untuk meninggalkan busana yang melanggar ketentuan Robbul ‘alamiin.</p> <p id="htld19"><b id="htld20">Pertama</b></p> <p id="htld21">Pakaian muslimah itu harus menutup seluruh badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan (lihat Al Ahzab: 59 dan An Nuur: 31)<i id="htld22">.</i> Selain keduanya seperti leher dan lain-lain, maka tidak boleh ditampakkan walaupun cuma sebesar uang logam, apalagi malah buka-bukaan. Bahkan sebagian ulama mewajibkan untuk ditutupi seluruhnya tanpa kecuali-red.</p> <p id="htld23"><b id="htld24">Kedua</b></p> <p id="htld25">Bukan busana perhiasan yang justru menarik perhatian seperti yang banyak dihiasi dengan gambar bunga apalagi yang warna-warni, atau disertai gambar makhluk bernyawa, apalagi gambarnya lambang partai politik!!!; ini bahkan bisa menimbulkan perpecahan diantara sesama muslimin. Sadarlah wahai kaum muslimin…</p> <p id="htld26"><b id="htld27">Ketiga</b></p> <p id="htld28">Harus longgar, tidak ketat, tidak tipis dan tidak sempit yang mengakibatkan lekuk-lekuk tubuhnya tampak atau transparan. Cermatilah, dari sini kita bisa menilai apakah jilbab gaul yang tipis dan ketat yang banyak dikenakan para mahasiswi maupun ibu-ibu di sekitar kita dan bahkan para artis itu sesuai syari’at atau tidak.</p> <p id="htld29"><b id="htld30">Keempat</b></p> <p id="htld31">Tidak diberi wangi-wangian atau parfum karena dapat memancing syahwat lelaki yang mencium keharumannya. Nabi <i id="htld32">shollallohu ‘alaihi wa sallam</i> bersabda, <i id="htld33">“Jika salah seorang wanita diantara kalian hendak ke masjid, maka janganlah sekali-kali dia memakai wewangian.”</i> (HR. Muslim). Kalau pergi ke masjid saja dilarang memakai wewangian lalu bagaimana lagi para wanita yang pergi ke kampus-kampus, ke pasar-pasar bahkan berdesak-desakkan dalam bis kota dengan parfum yang menusuk hidung?! <i id="htld34">Wallohul musta’an.</i></p> <p id="htld35"><b id="htld36">Kelima</b></p> <p id="htld37">Tidak menyerupai pakaian laki-laki seperti memakai celana panjang, kaos oblong dan semacamnya. Rosululloh melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai laki-laki (HR. Bukhori)</p> <p id="htld38"><b id="htld39">Keenam</b></p> <p id="htld40">Tidak menyerupai pakaian orang-orang kafir. Nabi senantiasa memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka diantaranya dalam masalah pakaian yang menjadi ciri mereka.</p> <p id="htld41"><b id="htld42">Ketujuh</b></p> <p id="htld43">Bukan untuk mencari popularitas. Untuk apa kalian mencari popularitas wahai saudariku? Apakah kalian ingin terjerumus ke dalam neraka hanya demi popularitas semu. Lihatlah isteri Nabi yang cantik Ibunda ‘Aisyah <i id="htld44">rodhiyallohu ‘anha</i> yang dengan patuh menutup dirinya dengan jilbab syar’i, bukankah kecerdasannya amat masyhur di kalangan ummat ini? <i id="htld45">Wallohul muwaffiq.</i></p> <p id="htld46">(Disarikan oleh Abu Mushlih dari <i id="htld47">Jilbab Wanita Muslimah</i> karya Syaikh Al Albani)</p> <p id="htld48">***</p> <p id="htld49">dinukil dari Artikel: www.muslimah.or.id</p> </div><div id="htld50" style="text-align: justify;"><br id="tifp1"></div>ummu-umairhttp://www.blogger.com/profile/09677651236290550610noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4194599529475692897.post-33965092310428642732008-05-26T07:00:00.000-07:002008-07-10T20:47:05.564-07:00<div id="bjaa2"><h1 id="gwhv0" style="text-align: center; background-color: rgb(255, 0, 255);"><font id="gwhv1" size="4">Saudariku... Kuingin Meraih Surga Bersamamu</font></h1> <div id="cbhd0" style="text-align: center;">Penulis: Ummu Ziyad<br id="cbhd1">dinukil dari web: http://muslimah.or.id.<br id="w.6t0"><br id="cbhd2"></div></div><div id="bjaa4" style="text-align: justify;" class="PostContent"> <p id="bjaa6">Memakai jilbab, untuk saat ini dan di negara ini, bukanlah berarti sebuah pengilmuan akan agama. Dulu aku pernah beranggapan bahwa seorang yang memakai jilbab adalah orang yang akan berusaha mempertahankan jilbabnya disebabkan proses pemakaian jilbab itu sendiri membutuhkan pergulatan di hati yang membuncah-buncah dan penuh derai air mata. Tapi sayangnya, makin bertambah usiaku, maka berubah pula anggapan itu disebabkan berbagai kenyataan yang kutemui.</p> <p id="bjaa7">Aku baru menyadari ada sebagian wanita yang menggunakan jilbab hanya karena sekedar disuruh atau diwajibkan oleh orang tua, tempat belajar atau tempatnya bekerja. Jika telah keluar dari ‘aturan’ itu, maka lepas pula jilbab yang menutupi kepalanya. Mungkin karena itulah kain-kain itu tidak menutup secara benar kepala dan dada mereka.</p> <p id="bjaa8">Sebagian lagi, memakai jilbab karena pada saat itu, jilbab terasa pas untuk dipakai dan lebih menimbulkan kesan ‘gaya’ dan kereligiusan agama. Apalagi jika diberi pernak-pernik di sana-sini. Jilbab yang seharusnya menutup keindahan wanita tersebut malah justru menambah keindahan itu sendiri. Ditambah lagi kesan agamis yang terasa nyaman di hati.</p> <p id="bjaa9">Aku juga pernah berpikir dan bertanya-tanya, bahwa orang-orang memakai cadar dan berjilbab lebar apakah tidak kepanasan dengan seluruh atributnya? Apakah tidak repot jika hendak keluar dimana mereka harus memakai seluruh kain panjang tersebut? Mulai dari baju, jilbab yang lebar, masih harus ditambah memakai kaus kaki! Ah! Dan di balik jilbab itu, ternyata masih ada jilbab lagi! Dan… apakah mereka bisa melihat dari balik cadar yang menutup matanya?</p> <p id="bjaa10">Untuk yang satu ini, waktu tidak cukup untuk menjawab semua pertanyaan itu. Karena butuh pengetahuan lain yang merasuk ke dalam hati untuk mendapatkan jawabannya. Pengetahuan akan indahnya Islam dengan segala pengaturan yang diberikan oleh Allah. Pengetahuan akan surga yang begitu indah dan damai dengan segala kenikmatannya. Pengetahuan bahwa surga tidak akan tercium oleh wanita yang mengumbar-umbar aurat di depan khalayak. Pengetahuan bahwa penghuni neraka yang paling banyak adalah wanita. Ternyata kerepotan itu bukanlah kerepotan, melainkan sebuah usaha. Usaha dari seorang wanita muslimah untuk menggapai surga-Nya. Untuk bersanding dengan suaminya ditemani dengan bidadari cantik lainnya. Panas dari jilbab itu bukanlah rasa panas yang menyesakkan pikiran dan dada. Akan tetapi hanya sepercik penguji jiwa yang dapat meluruhkan dosa-dosa kecil dari seorang insan wanita. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setiap kesusahan yang dialami muslim merupakan peluruh bagi dosa-dosanya.</p> <p id="bjaa11">Maka… hatiku kini pedih… Ketika kemarin melihat saudariku yang lain, seiring dengan berjalannya waktu, kini telah membuka jilbabnya. Sempat kutanyakan, <i id="bjaa12">“Di mana jilbabnya?”</i></p> <p id="bjaa13">Ia menjawab, <i id="bjaa14">“Tidak sempat kupakai.”</i></p> <p id="bjaa15">Aih… waktu kutanyakan itu, memang pada saat dimana orang-orang sibuk menyelamatkan dirinya dikarenakan bencana alam. Aku hanya terdiam mendengar jawaban itu. Ah… mungkin karena sangat terkejutnya sehingga tidak sempat berbalik lagi untuk mengambil jilbab.</p> <p id="bjaa16">Tapi hari ini… kutemukan dia sudah menanggalkan jilbabnya. Bahkan tak tersisa sedikitpun jejak bahwa ia pernah memakai jilbab. Kini ia telah bercelana pendek dengan pakaian yang pendek pula. Sesak rasanya dada ini. Tetapi belum ada daya dari diriku untuk bertanya lagi tentang sebuah kain yang menutupi kepala dan dadanya. Masih tersisa di benakku, jika seseorang yang menggunakan jilbab melepas jilbabnya… maka habislah sudah… karena perenungan dan pergulatan hati itu kini telah dikalahkan oleh hawa nafsu. Perenungan yang pernah mendapatkan kemenangan dengan dikenakannya jilbab itu kini justru bahkan tak mau diingat. Hanya kepada Allah-lah aku mengadu dan memohonkan hidayah itu agar tetap ada bersamaku dan kembali ditunjukkan kepadanya.</p> <p id="bjaa17">Saudariku… kuingin meraih surga bersamamu. Maka, saat ini aku hanya bisa berdoa. Semoga kita bertemu di surga kelak…</p> </div><div id="bjaa18" style="text-align: justify;"><br id="bjaa19"></div>ummu-umairhttp://www.blogger.com/profile/09677651236290550610noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-4194599529475692897.post-8869828830850379122008-05-14T07:21:00.000-07:002008-07-10T20:47:05.576-07:00 <div style="text-align: justify;" id="bo3d2" class="PostContent"><div id="lt520"></div><div id="lh_20" class="PostContent"><div id="lt521"> </div><h1 style="text-align: center;" id="lt522"><font style="background-color: rgb(255, 0, 255);" id="lt523" color="#000000" size="4"><b id="j:.s0"> Kecantikan Sejati </b></font><br id="lh_24"></h1><p style="text-align: center;" id="lh_25">Dikirim: Ummu Yusuf Wikayatu Diny<br id="lh_26"> Muroja’ah: Ust Aris Munandar</p><p id="lh_25"><br id="ugd90"></p> <p id="lh_29">Adalah kebahagiaan seorang laki-laki ketika Allah menganugrahkannya seorang istri yang apabila ia memandangnya, ia merasa semakin sayang. Kepenatan selama di luar rumah terkikis ketika memandang wajah istri yang tercinta. Kesenangan di luar tak menjadikan suami merasa jengah di rumah. Sebab surga ada di rumahnya; <i id="lh_28">Baiti Jannati</i> (rumahku surgaku).<br id="lh_210"> Kebahagiaan ini lahir dari istri yang apabila suami memandangnya, membuat suami bertambah kuat jalinan perasaannya. Wajah istri adalah keteduhan, telaga yang memberi kesejukan ketika suami mengalami kegerahan. Lalu apakah yang ada pada diri seorang istri, sehingga ketika suami memandangnya semakin besar rasa sayangnya? Konon, seorang laki-laki akan mudah terkesan oleh kecantikan wajah. Sempurnalah kebahagiaan seorang laki-laki jika ia memiliki istri yang berwajah memikat.</p> <p id="lh_211">Tapi asumsi ini segera dibantah oleh dua hal. Pertama, bantahan berupa fakta-fakta. Dan kedua, bantahan dari sabda Rasulullah <i id="lh_212">shalallahu ‘alaihi wa sallam</i>.</p> <p id="lh_213">Konon, Christina Onassis, mempunyai wajah yang sangat cantik. Ia juga memiliki kekayaan yang sangat besar. Mendiang ayahnya meninggalkan harta warisan yang berlimpah, antara lain kapal pesiar pribadi, dan pulau milik pribadi juga. Telah beberapa kali menikah, tetapi Christina harus menghadapi kenyataan pahit. Seluruh pernikahannya berakhir dengan kekecewaan. Terakhir ia menutup kisah hidupnya dengan satu keputusan: bunuh diri.</p> <p id="lh_214">Kecantikan wajah Christina tidak membuat suaminya semakin sayang ketika memandangnya. Jalinan perasaan antara ia dan suami-suaminya tidak pernah kuat.</p> <p id="lh_215">Kasus ini memberikan ibroh kepada kita bahwa bukan kecantikan wajah secara fisik yang dapat membuat suami semakin sayang ketika memandangnya. Ada yang bersifat psikis, atau lebih tepatnya bersifat qalbiyyah!</p> <p id="lh_216">Bantahan kedua, sabda Rasulullah <i id="lh_217">shalallahu ‘alaihi wa sallam</i>: <i id="lh_218">“Seorang wanita dinikahi karena empat hal; karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah yang taat beragama niscaya kamu akan beruntung.”</i> (HR. bukhari, Muslim)</p> <p id="lh_219">Hadist di atas sebagai penguat bahwa kesejukan ketika memandang sehingga perasaan suami semakin sayang, letaknya bukan pada keelokan rupa secara zhahir. Ada yang bersifat bathiniyyah.</p> <p id="lh_220">Dengan demikian wahai saudariku muslimah, tidak mesti kita harus mempercantik diri dengan alat kosmetik atau dengan menggunakan gaun-gaun aduhai yang akhirnya akan membawa kita pada sikap berlebihan pada hal yang halal bahkan menyebabkan kita menjadi lalai dan meninggalkan segala yang bermanfaat dalam perkara-perkara akhirat, <i id="lh_221">wal ‘iyadzubillah</i>. Namun tidak berarti kita meninggalkan perawatan diri dengan menjaga fitrah manusia, dengan menjaga kebersihan, kesegaran dan keharuman tubuh yang akhirnya melalaikan diri dalam menjaga hak suami. Ada yang lebih berarti dari semua itu, ada yang lebih penting untuk kita lakukan demi mendapatkan cinta suami.</p> <p id="lh_222">Sesungguhnya cinta yang dicari dari diri seorang wanita adalah sesuatu pengaruh yang terbit dari dalam jiwa dengan segala kemuliaannya dan mempunyai harga diri, dapat menjaga diri, suci, bersih, dan membuat kehidupan lebih tinggi di atas egonya.</p> <p id="lh_223">Untuk itulah saudariku muslimah… Tuangkanlah di dalam dada dan hatimu dengan cinta dan kasih sayang serta tanamkanlah kemuliaan wanita muslimah seperti jiwamu yang penuh dengan kebaikan, perhatian serta kelembutan. Bukankah kita telah melihat contoh-contoh yang gemilang dari pribadi-pribadi yang kuat dari para <i id="lh_224">shahabiyyah radiyallahu ‘anhunna…</i>?</p> <p id="lh_225">Janganlah engkau penuhi dirimu dengan ahlak yang selalu sedih dan gelisah, banyak pengaduan dan keluh kesah dan selalu mengancam, karena hal tersebut akan menggelapkan hatimu. Tersenyumlah untuk kehidupan. Seperti kuatnya para shahabiyyah dalam menghadapi kehidupan yang keras dan betapa kuatnya wanita-wanita yang lembut itu mempertahankan agamanya…</p> <p id="lh_226">Perhiasan jiwa, itulah yang lebih utama. Yaitu sifat-sifat dan budi pekerti yang diajarkan Islam, yang diawali dengan sifat keimanan. Sebagaimana firman Allah, (yang artinya) <i id="lh_227">“Tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan.”</i> (QS. Al-Hujaraat: 7)</p> <p id="lh_228">Apabila keimanan telah benar-benar terpatri dalam hati, maka akan tumbuhlah sifat-sifat indah yang menghiasi diri manusia, mulai dari Ketakwaan, Ilmu, Rasa Malu, Jujur, Terhormat, Berani, Sabar, Lemah Lembut, Baik Budi Pekerti, Menjaga Silaturrahim, dan sifat-sifat terpuji lainnya yang tidak mungkin disebut satu-persatu. Semuanya adalah nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada hamba-hambanya agar dapat bahagia hidup di dunia dan akhirat.</p> <p id="lh_229">Wanita benar-benar sangat diuntungkan, karena ia memiliki kesempatan yang lebih besar dalam hal perhiasan jiwa dengan arti yang sesungguhnya, yaitu ketika wanita memiliki sifat-sifat terpuji yang mengangkat derajatnya ke puncak kemuliaan, dan jauh dari segala sesuatu yang dapat menghancurkanya dan menghilangkan rasa malunya….!</p> <p id="lh_230">Saudariku… jika engkau telah menikah, maka nasihat ini untuk mengingatkanmu agar engkau selalu menampilkan kecantikan dirimu dengan kecantikan sejati yang berasal dari dalam jiwamu, bukan dengan kecantikan sebab yang akan lenyap dengan lenyapnya sebab.</p> <p id="lh_231">Saudariku… jika saat ini Allah belum mengaruniai engkau jodoh seorang suami yang sholeh, maka persiapkanlah dirimu untuk menjadi istri yang sholihah dengan memperbaiki diri dari kekurangan yang dimiliki lalu tutuplah ia dengan memunculkan potensi yang engkau miliki untuk mendekatkan dirimu kepada Yang Maha Rahman, mempercantik diri dengan ketakwaan kepada Allah yang dengannya akan tumbuh keimanan dalam hatimu sehingga engkau dapat menghiasi dirimu dengan akhlak yang mulia.</p> <p id="lh_232">Saudariku… ini adalah sebuah nasihat yang apabila engkau mengambilnya maka tidak ada yang akan diuntungkan melainkan dirimu sendiri.</p> <p id="lh_233">Disalin dari: Buletin al-Izzah edisi no16/thn III/Muharram 1425 H</p> <p id="lh_234">(<i id="lh_235">Bulletin ini diterbitkan oleh Forkimus (Forum Kajian Islam Muslimah Salafiyah) Mataram, Lombok, NTB</i>)</p> <p id="lh_236">***</p> <p id="lh_237">sumber: Artikel www.muslimah.or.id</p> </div><h1 id="n4.50"></h1></div><div id="b-2d0" style="text-align: justify;"><br id="bo3d72"></div>ummu-umairhttp://www.blogger.com/profile/09677651236290550610noreply@blogger.com0