Rabu, 15 April 2009

Rebutlah hati suamimu dengan bersegera menta’atinya


Istri yang bijak adalah istri yang dapat mengerti dan memahami kewajiban yang harus dilakukannya. Memahami bahwa mentaati suami merupakan salah satu kewajibannya. Dan bahwa mentaati suami dalam perkara yang bukan maksiat merupakan penyebab ia masuk ke dalam jannah.

Rasulullooh Shololloohi ‘alahi wassallaam telah bersabda:

“Apabila seorang wanita telah mengerjakan sholat lima waktu, puasa bulan ramadhon, menjaga kemaluannya, mentaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: “Masuklah jannah dari pintu manapun yang engkau suka”. (Shahih Al-Jami’ Al Kabir)

Ketahuilah, kewajiban utama seorang istri terhadap suaminya adalah mentaatinya dalam perkara-perkara yang bukan maksiat dan tidak menyeret kepada mudhorat. Ketaatan istri ini akan memberikan pengaruh yang amat besar dalam menciptakan suasana keluarga yang harmonis. Dalam hadits tentang kisah delegasi kaum wanita, mereka menyebutkan tentang pahala yang diperoleh para lelaki dengan jihad, kemudian mereka bertanya, “Bagaimana kami dapat memperoleh keutamaan seperti demikian?”

Maka Rasulullooh Shololloohi ‘alahi wassallaam bersabda:

“Sampaikan kepada para wanita yang kalian jumpai bahwa mentaati suami dan menunaikan hak-haknya dapat menyamai semua keutamaan itu…” (HR. Al-Bazaar dan Ath-Thobrani)

Kewajiban kepada suami bukan berarti menihilkan kepribadianmu sebagai wanita. Bukan berarti hegemoni kaum lelaki terhadap wanita dan bukan pula berarti kehidupan rumah tangga menjadi ajang pertempuran, penentangan dan membuat keras kepala. Namun, merupakan kehidupan yang mana kesantunan menjadi ciri utamanya.

Sesungguhnya ketaatan istri kepada suaminya secara ma’ruf dan kecintaannya kepada suaminya bisa mengangkat kedudukannya di sisi Allooh dan mendatangkan kebahagiaan dan ketenangan baginya. Dan suaminya juga akan mentaatinya dan menuruti keinginannya yang syar’i. Dalam sebuah mutiara-mutiara hikmah, disebutkan: “Sebaik-baik istri adalah yang ta’at, mencintai, bijak, subur lagi penyayang, pendek lisan (tak cerewet) dan mudah diatur.”

Suami akan sangat gembira ketika mendapatkan istrinya segera mentaatinya, tidak bermalas-malasan dalam menunaikan apa yang dikehendakinya, bahkan terkadang sampai pada taraf kedua-duanya memahami apa yang diingini oleh pasangannya, ia tidak perlu memikirkannya sebelum menyebutkannya.

Itu berarti engkau benar-benar mengharapkan ridha suamimu dan berusaha untuk meraihnya. Dan juga berarti engkau mengetahui jalan menuju jannah.

Rasulullooh Shololloohi ‘alahi wassallaam bersabda:

“siapa saja wanita yang meninggal sementara suaminya ridho terhadapnya maka ia pasti masuk jannah.” (HR. Ibnu Majah dan Al-Hakim)

Dikutip dari Kuuni Zaujatan Naajihatan, DR. Najla’ As-Sayyid Nayil.

sumber: http://jilbab.or.id

Selasa, 07 April 2009

Pelukan dan Cium Tangan

Pelukan dan Cium Tangan

Penulis: Ustadz Aris Munandar

قَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللهِ ، أَحَدُنَا يَلْقَى صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِي لَهُ ؟ قَالَ : فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لاَ . قَالَ : فَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ ؟ قَالَ : لاَ . قَالَ : فَيُصَافِحُهُ ؟ قَالَ : نَعَمْ إِنْ شَاءَ.

Ada seorang yang bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah jika ada di antara kami yang berjumpa dengan temannya apakah boleh dia menundukkan badan kepadanya?” Jawab Nabi, “Tidak boleh.” “Apakah boleh memeluknya dan menciumnya”, tanya orang tersebut untuk kedua kalinya. Sekali lagi Nabi mengatakan, “Tidak boleh”. Berikutnya penanya kembali bertanya, “Apakah boleh menjabat tangannya?” Nabi bersabda, “Boleh, jika dia mau.” (HR Ahmad no. 13044 dari Anas bin Malik, dinilai hasan oleh Al Albani dalam Silsilah Shahihah, no. 160)

Dalam riwayat Ibnu Majah no 3833 dan dinilai hasan oleh Al Albani di sebutkan,

قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَنْحَنِى بَعْضُنَا لِبَعْضٍ قَالَ « لاَ ». قُلْنَا أَيُعَانِقُ بَعْضُنَا بَعْضًا قَالَ « لاَ وَلَكِنْ تَصَافَحُوا ».

Kami (para sahabat) bertanya, “Wahai Rasulullah apakah kami boleh saling menundukkan badan?” “Tidak boleh,” jawab Nabi dengan tegas. Kami juga bertanya, “Apakah kami boleh saling memeluk?” Nabi bersabda, “Tidak boleh tapi boleh saling menjabat tangan.”

قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ الرَّجُلُ مِنَّا يَلْقَى أَخَاهُ أَوْ صَدِيقَهُ أَيَنْحَنِى لَهُ قَالَ « لاَ ». قَالَ أَفَيَلْتَزِمُهُ وَيُقَبِّلُهُ قَالَ « لاَ ». قَالَ أَفَيَأْخُذُ بِيَدِهِ وَيُصَافِحُهُ قَالَ « نَعَمْ ».

Dalam riwayat Tirmidzi no 2947, ada seorang yang bertanya, “Wahai Rasulullah ada seorang di antara kami berjumpa dengan saudaranya atau temannya, apakah dia boleh menundukkan badan kepadanya?” Jawaban Nabi, “Tidak boleh.” “Apakah boleh memeluk dan menciumnya?”, tanya orang tersebut. “Tidak boleh,” jawab Nabi. “Apakah boleh memegang tangannya dan menjabatnya?”, tanya orang tersebut kembali. Jawaban Nabi, “Boleh.” Hadits ini dikomentari Tirmidzi, “Ini adalah hadits hasan.” Demikian pula Al albani. Juga disetujui oleh al Hafizh Ibnu Hajar dalam Talkhish, no. 367.

Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa larangan berciuman ketika bertemu dalam hadits di atas hanya berlaku jika motifnya adalah motif duniawi semisal karena orang tersebut kaya, berpangkat atau berkedudukan tinggi.

Anggapan ini dikomentari Syaikh Al Albani sebagai berikut, “Ini adalah pemahaman yang batil karena para sahabat yang bertanya kepada Nabi sama sekali tidak bermaksud menanyakan ciuman dengan motif demikian, tapi yang ditanyakan adalah ciuman dengan motif penghormatan. Sebagaimana mereka bertanya tentang menundukkan badan, berpelukan dan berjabat tangan, semua itu dilakukan dengan motif penghormatan. Meski demikian tidak ada yang Nabi izinkan kecuali sekedar berjabat tangan. Apakah jabat tangan yang ditanyakan adalah jabat tangan dengan motif duniawi? Tentu tidak.

Sehingga hadits di atas adalah dalil tegas menunjukkan tidak disyariatkannya berciuman ketika bertemu, namun hal ini tidak berlaku untuk anak dan istri sebagaimana dimaklumi.

Sedangkan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi mencium beberapa sahabat dalam beberapa kesempatan semisal Nabi mencium dan memeluk Zaid bi Harits ketika Zaid tiba di kota Madinah. Nabi juga pernah mencium dan memeluk Abul Haitsam bin at Taihan, dll. maka disusukkan sebagai berikut.

Pertama, hadits-hadits tersebut adalah hadits-hadits yang cacat (baca: lemah) sehingga tidak bisa dipergunakan sebagai dalil. Mudah-mudahan kami bisa membahas secara khusus hadits-hadits tersebut dan menjelaskan kecacatannya, insya Allah.

Kedua, andai ada yang shahih maka hadits tersebut tidak bisa dipergunakan untuk menentang hadits yang jelas-jelas shahih di atas karena perbuatan mengandung banyak kemungkinan semisal itu adalah hukum khusus untuk Nabi atau kemungkinan lain yang memperlemah kekuatan hadits tersebut untuk melawan hadits di atas. Hadits di atas merupakan sabda nabi dan ditujukan untuk seluruh umat sehingga lebih kuat dari pada hadits yang menceritakan perbuatan Nabi.

Adalah kaidah baku dalam ilmu ushul fiqh bahwa sabda Nabi itu lebih didahulukan dari pada perbuatan Nabi ketika terjadi pertentangan. Demikian dalil yang memuat larangan itu lebih diutamakan dari pada hadits yang memuat hukum boleh. Sedangkan hadits di atas adalah sabda Nabi dan berisi larangan sehingga harus lebih diutamakan dari pada hadits-hadits yang lain. Inilah yang kita katakan seandainya hadits-hadits tersebut shahih.

Demikian pula yang kita katakan terkait dengan berpelukan dan saling mendekap saat bersua, perbuatan ini tidaklah disyariatkan karena dilarang dalam hadits di atas.

Akan tetapi Anas mengatakan, “Para sahabat jika bertemu mereka saling berjabat tangan dan jika ada yang tiba dari bepergian mereka saling berpelukan.” (HR Thabrani dalam al Ausath dan para perawinya adalah para perawi dalam kitab shahih sebagaimana yang dikatakan oleh al Mundziri, 3/270 dan al Haitsami, 8/36).

Juga diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih dari Sya’bi, “Para sahabat Muhammad jika bertemu mereka saling berjabat tangan dan jika ada yang tiba dari bepergian mereka saling berpelukan.”

Dari jabir bin Abdillah, “Aku mendengar adanya sebuah hadits dari seorang yang mendengar dari Rasulullah. Aku lantas membeli seekor unta lalu kupasang di atasnya pelana unta. Aku bepergian menuju tempat orang tersebut selama sebelum hingga akhirnya aku tiba di Syam dengan unta tersebut. Ternyata orang tersebut adalah Abdullah bin Anis. Aku lalu berkata kepada satpam, penjaga pintu, ‘Katakan padanya bahwa Jabir ada di depan pintu.’ Lalu dia bertanya, “Jabir bin Abdullah?” “Ya”, kataku. Abdullah lantas keluar dengan menginjak kainnya lalu memelukku dan aku pun memeluknya.” (HR Bukhari dalam Adabul Mufrod, no. 970 dan Ahmad 3/495, sanadnya hasan sebagaimana yang dikatakan oleh Al Hafizh 1/195 dan diriwayatkan Bukhari dalam shahihnya tanpa sanad)

Menimbang riwayatt-riwayat tersebut bisa kita katakan bahwa saling berpelukan sepulang bepergian diperbolehkan mengingat para sahabat melakukannya.

Oleh karena itu andai hadits-hadits tentang berpelukan yang Nabi lakukan itu shahih maka itu hanya ditujukan kepada yang baru pulang dari bepergian.

Sedangkan tentang mencium tangan terdapat banyak hadits dan riwayat dari salaf yang secara global menunjukkan bahwa hal itu memang benar-benar dari Nabi. Karenanya kami berpendapat boleh mencium tangan seorang ulama asal syarat-syarat berikut.

Pertama, hal itu tidak dijadikan sebagai kebiasaan sehingga seorang ulama terbiasa mengulurkan tangannya kepada murid-muridnya dan para murid terbiasa ngalap berkah dengan melakukan hal tersebut. Karena Nabi meski tangannya pernah dicium tapi itu sangat jarang. Jika demikian maka tidak boleh dijadikan kebiasaan yang terus menerus dilakukan sebagaimana diketahui dalam Qowaid Fiqhiyyah.

Kedua, cium tangan tersebut tidak menyebabkan sang ulama merasa sombong terhadap yang lain dan menganggap hebat dirinya sendiri sebagaimana realita sebagian kyai di masa ini.

Ketiga, cium tangan tersebut tidak menjadi sarana menihilkan sunnah yang sudah umum dikenal semisal sunnah berjabat tangan. Berjabat tangan disyariatkan dengan dasar perbuatan dan sabda Nabi. Berjabat tangan adalah sebab rontoknya dosa-dosa orang yang melakukannya sebagaimana yang terdapat dalam beberapa hadits. Karenanya tidak boleh menghilangkan jabat tangan disebabkan suatu hal yang kemungkinan tertingginya adalah sekedar boleh.” (Silsilah Shahihah, 1/249)

***

sumber: Artikel www.muslimah.or.id

Senin, 06 April 2009

Cinta Sepanjang Masa

Cinta Sepanjang Masa

Ia adalah wanita yang terus hidup dalam hati suaminya sampaipun ia telah meninggal dunia. Tahun-tahun yang terus berganti tidak dapat mengikis kecintaan sang suami padanya. Panjangnya masa tidak dapat menghapus kenangan bersamanya di hati sang suami. Bahkan sang suami terus mengenangnya dan bertutur tentang andilnya dalam ujian, kesulitan dan musibah yang dihadapi. Sang suami terus mencintainya dengan kecintaan yang mendatangkan rasa cemburu dari istri yang lain, yang dinikahi sepeninggalnya. (Mazin bin Abdul Karim Al Farih dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)

Suatu hari istri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang lain (yakni ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha) berkata, “Aku tidak pernah cemburu kepada seorang pun dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti cemburuku pada Khadijah, padahal aku tidak pernah melihatnya, akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menyebutnya.” (HR. Bukhari)

Ya, dialah Khadijah bintu Khuwailid bin Asad bin ‘Abdul ‘Uzza bin Qushai. Dialah wanita yang pertama kali dinikahi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bersamanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membina rumah tangga harmonis yang terbimbing dengan wahyu di Makkah. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menikah dengan wanita lain sehingga dia meninggal dunia.

Saat menikah, Khadijah radhiyallahu ‘anha berusia 40 tahun sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berusia 25 tahun. Saat itu ia merupakan wanita yang paling terpandang, cantik dan sekaligus kaya. Ia menikah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tak lain karena mulianya sifat beliau, karena tingginya kecerdasan dan indahnya kejujuran beliau. Padahal saat itu sudah banyak para pemuka dan pemimpin kaum yang hendak menikahinya.

Ia adalah wanita terbaik sepanjang masa. Ia selalu memberi semangat dan keleluasaan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mencari kebenaran. Ia sendiri yang menyiapkan bekal untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat beliau menyendiri dan beribadah di gua Hira’. Seorang pun tidak akan lupa perkataannya yang masyhur yang menjadikan Nabi merasakan tenang setelah terguncang dan merasa bahagia setelah bersedih hati ketika turun wahyu pada kali yang pertama, “Demi Allah, Allah tidak akan menghinakanmu selama-lamanya. Karena sungguh engkau suka menyambung silaturahmi, menanggung kebutuhan orang yang lemah, menutup kebutuhan orang yang tidak punya, menjamu dan memuliakan tamu dan engkau menolong setiap upaya menegakkan kebenaran.” (HR. Muttafaqun ‘alaih) (Mazin bin Abdul Karim Al Farih dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)

Pun, saat suaminya menerima wahyu yang kedua berisi perintah untuk mulai berjuang mendakwahkan agama Allah dan mengajak pada tauhid, ia adalah wanita pertama yang percaya bahwa suaminya adalah utusan Allah dan kemudian menyatakan keislamannya tanpa ragu-ragu dan bimbang sedikit pun juga.

Khadijah termasuk salah satu nikmat yang Allah anugerahkan pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia mendampingi beliau selama seperempat abad, menyayangi beliau di kala resah, melindungi beliau pada saat-saat yang kritis, menolong beliau dalam menyebarkan risalah, mendampingi beliau dalam menjalankan jihad yang berat, juga rela menyerahkan diri dan hartanya pada beliau. (Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury di dalam Sirah Nabawiyah)

Suatu kali ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau menyebut-nyebut Khadijah, “Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita lain selain Khadijah?!” Maka beliau berkata kepada ‘Aisyah, “Khadijah itu begini dan begini.” (HR. Bukhari)

Dalam riwayat Ahmad pada Musnad-nya disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “begini dan begini” adalah sabda beliau, “Ia beriman kepadaku ketika semua orang kufur, ia membenarkan aku ketika semua orang mendustakanku, ia melapangkan aku dengan hartanya ketika semua orang mengharamkan (menghalangi) aku dan Allah memberiku rezeki berupa anak darinya.” (Mazin bin Abdul Karim Al Farih dalam kitabnya Al Usratu bilaa Masyaakil)

Karenanya saudariku muslimah, jika engkau ingin hidup dalam hati suamimu maka sertailah dia dalam mencintai dan menegakkan agama Allah, sertailah dia dalam suka dan dukanya. Jadilah engkau seperti Khadijah hingga engkau kelak mendapatkan apa yang ia dapatkan. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari, Jibril mendatangi nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, inilah Khadijah yang datang sambil membawa bejana yang di dalamnya ada lauk atau makanan atau minuman. Jika dia datang, sampaikan salam kepadanya dari Rabb-nya, dan sampaikan kabar kepadanya tentang sebuah rumah di surga, yang di dalamnya tidak ada suara hiruk pikuk dan keletihan.”

Saudariku muslimah, maukah engkau menjadi Khadijah yang berikutnya?

Maraji:

  1. Rumah Tangga tanpa Problema (terjemahan dari Al Usratu bilaa Masyaakil) karya Mazin bin Abdul Karim Al Farih
  2. Sirah Nabawiyah (terj) karya Syaikh Shafiyurrahman Al Mubarakfury
  3. Al Quran dan Terjemahnya

***

Penyusun: Ummu Abdirrahman
Muroja’ah: ustadz Abu Salman
sumber: Artikel www.muslimah.or.id

Selasa, 15 Juli 2008

Kunci Syurga Muslimah

Surga adalah idaman dan harapan setiap orang beriman, laki-laki dan perempuan, ia adalah akhir perjalanan bagi semua orang yang taat dan patuh kepada Allah dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya, bagi seorang muslimah perkara ini penting karena Rasulullah saw telah menyatakan bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah wanita, dari sini mengetahui kunci surga oleh seorang muslimah merupakan perkara penting, dengan meraih kunci ini berarti dia tidak termasuk ke dalam golongan para wanita penghuni neraka.

Rasulullah saw telah merangkum kunci surga muslimah dalam empat perkara,
1- Menjaga shalat lima waktu.
2- Berpuasa di bulannya.
3- Menjaga kehormatannya.
4- Menaati suaminya.

Dari Abdurrahman bin Auf berkata, Rasulullah saw bersabda,


إِذَا صَلَّتِ المَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الجَنَّةِ شَاءَتْ .

“Jika seorang wanita menjaga shalat lima waktu, berpuasa pada bulannya, menjaga kehormatannya dan menaati suaminya, niscaya dia masuk surga dari pintu mana saja yang dia inginkan.”(HR. Ahmad nomor 1661, hadits hasan lighairihi).

Satu hal yang terpetik dari sabda Nabi saw di atas adalah bahwa beliau hanya menyebutkan perkara-perkara yang masuk ke dalam jangkauan seorang muslimah, di mana seorang muslimah mampu melaksanakannya tanpa bergantung kepada orang lain atau bergantung kepada suaminya, di sini Rasulullah saw tidak menyinggung, misalnya, haji, karena pelaksanaan ibadah ini oleh seorang muslimah bergantung kepada suatu perkara yang mungkin tidak dimilikinya, seperti tersedianya bekal haji atau tersedianya mahram, di sini Rasulullah saw juga tidak menyinggung zakat, karena perkaranya kembali kepada kepemilikan harta dan pada umumnya ia berada di tangan kaum laki-laki, karena harta adalah hasil bekerja dan yang bekerja pada dasarnya adalah kaum laki-laki.

Kunci pertama, menjaga shalat lima waktu

Shalat adalah ibadah teragung, hadir setelah ikrar dua kalimat syahadat, satu-satunya ibadah yang tidak menerima alasan ‘tidak mampu’, wajib dikerjakan dalam keadaan apa pun selama hayat masih dikandung badan dan akal masih bekerja dengan baik, pembatas antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan, tidak heran jika suatu ibadah dengan kedudukan seperti ini merupakan salah satu kunci surga.

Jika menjaga shalat adalah kunci surga, maka sebaliknya menyia-nyiakannya adalah gerbang neraka, ketika para pendosa dicampakkan ke dalam neraka, mereka ditanya, apa yang membuat kalian tersungkur ke dalam neraka? Mereka menyebutkan rentetan dosa-dosa yang diawali dengan meninggalkan shalat.

Firman Allah, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?’ Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.”(Al-Muddatstsir: 42-43).

Perkara menyia-nyiakan shalat tidak jarang terjadi pada kaum muslimin secara umum dan kaum muslimat secara khusus, banyak alasan dan hal yang membuat mereka terjerumus ke dalam perbuatan tidak terpuji ini, di antara mereka ada yang menyia-nyiakan shalat karena malas dan meremehkan, di antara mereka ada yang terlalaikan oleh kesibukan hidup, sibuk bekerja, sibuk memasak, sibuk mengurusi rumah tangga, sibuk mengurusi anak-anak dan suami, sibuk dengan kegiatan-kegiatan lainnya sehingga ibadah shalat terbengkalai, padahal ibadah shalat tidak menerima alasan apa pun yang membuatnya tersia-siakan, dan Allah telah memperingatkan kaum muslimin agar tidak terlalaikan oleh dunia dari mengingatNya, termasuk mengingatNya melalui ibadah shalat.

Firman Allah, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Munafiqun: 9).

Menjaga shalat lima waktu mencakup menjaga waktunya dalam arti melaksanakannya tepat waktu, tidak menundanya dan mengulur-ulur waktunya sampai waktunya hampir habis, atau bahkan membiarkannya habis, ini adalah shalat orang-orang munafik, dan seorang muslimah tidak patut bermental munafik dalam ibadah shalat.

Menjaga shalat mencakup menjaga syarat-syarat dan rukun-rukunnya di mana shalat tidak sah tanpanya, menjaga wajib-wajib dan sunnah-sunnahnya yang merupakan penyempurna bagi ibadah shalat, semua ini menuntut seorang muslimah untuk belajar dan membekali diri dengan ilmu yang shahih tentang shalat. Tanpa ilmu yang shahih tidak akan terwujud menjaga shalat.

Kunci kedua, berpuasa di bulannya

Puasa di bulan Ramadhan adalah salah satu kunci surga, lebih dari itu di surga tersedia sebuah pintu khusus bagi orang-orang yang berpuasa yang dikenal dengan ‘ar-Rayyan’, pintu masuk para shaimin secara khusus, jika mereka telah masuk maka ia akan ditutup.
Di samping berpuasa sebagai kunci surga, ia juga merupakan tameng dan pelindung dari neraka, Rasulullah saw menyatakan, ash-shaumu junnah, puasa adalah tameng atau pelindung, yakni dari api neraka.

Karena puasa merupakan salah satu kunci surga sekaligus pelindung dari neraka maka seorang muslimah harus menjaganya, dalam arti melaksanakannya dengan baik, memperhatikan syarat, rukun dan pembatalnya, karena tanpanya dia tidak mungkin berpuasa dengan baik.

Seorang muslimah juga harus memperhatikan perkara qadha puasa Ramadhan di hari-hari lain jika dia mendapatkan halangan pada bulan Ramadhan sehingga tidak mungkin berpuasa secara penuh, jangan sampai Ramadhan berikut hadir sementara dia belum melunasi hutang puasanya, perkara mengqadha puasa di hari lain ini sering terlupakan atau terabaikan, karena kesibukan hidup, padahal ia adalah hutang yang jika tidak dilaksanakan maka seorang muslimah tidak bisa dikatakan telah berpuasa di bulannya, selanjutnya dia gagal meraih kunci kedua dari kunci-kunci masuk surga, dari sini bersikap hati-hati dengan menyegerakan qadha adalah sikap bijak, karena penundaan terkadang malah merepotkan dan menyulitkan.
(Izzudin Karimi)

Diambil dari: www.alsofwah.or.id

Kamis, 10 Juli 2008

Susu Ibu adalah Makanan Terbaik bagi Bayi

Berikut artikel yang diambil dari web: www.alsofwah.or.id. Semoga bermanfaat.

Tugas dan Beban Ibu: Menyusui

Fase menyusu termasuk fase terpenting yang dilalui oleh anak, peran ibu dalam fase ini sangat penting, oleh karena itu Allah tidak menyerahkan persoalannya kepada seseorang, akan tetapi Dia menurunkan ayat yang terbaca sepanjang waktu dan zaman, demi menegaskan di setiap tempat dan waktu pentingnya menyusui secara alami bagi ibu dan bayi sekaligus.

Firman Allah Ta’ala, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 233).

Dalam Tafsir al-Qurthubi rhm tentang firman Allah, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya,” disebutkan ucapan adh-Dhahhak yang berkata, “Para ibu lebih berhak menyusui anak-anak mereka daripada wanita lain karena mereka lebih sayang dan lebih lembut, menjauhkan anak dari ibu merugikan keduanya.”

FirmanNya, “Selama dua tahun.” Yakni sempurna bagi siapa yang hendak menyempurnakan susuan, ini menunjukkan bahwa menyusui selama dua tahun bukan merupakan hak, boleh menyapih sebelum itu, dan hal ini bersifat kondisional.

Firman Allah, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang tuanya: ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKu-lah kembalimu.” (Luqman: 14).

Firman Allah, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula), mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”(Al-Ahqaf: 15).

Dalam Tafsir al-Qurthubi disebutkan ucapan Ibnu Abbas yang berkata, “Kedua ayat ini tentang anak, dia berdiam di dalam rahim selama enam bulan, jika dia berdiam selama tujuh bulan maka susuannya selama dua puluh tiga bulan, jika dia berdiam selama delapan bulan maka susuannya dua puluh dua bulan, jika dia berdiam selama sembilan bulan maka susuannya selama dua puluh satu bulan berdasarkan firman Allah, “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”(Al-Ahqaf: 15). Dari sini maka masa kehamilan dan menyusui saling berkaitan, sebagian mengambil yang lain.

Ini tentang masa menyusui, adapun tentang hukum menyusui maka Allah berfirman, “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.” (Al-Baqarah: 233). Al-Bukhari meriwayatkan dari Yunus dari az-Zuhri berkata, “Allah melarang menyengsarakan ibu karena anaknya, ibu berkata, ‘aku tidak menyusuinya’, padahal susu ibu adalah makanan terbaik bagi bayi, ibu lebih sayang dan lebih lembut kepada anak daripada selainnya, ibu tidak berhak menolak menyusui setelah bapak memberikan kepadanya apa yang Allah wajibkan atas dirinya, bapak tidak boleh menyengsarakan ibu karena anaknya, bapak tidak menghalangi ibu menyusui anaknya dan menyerahkan anak kepada orang lain untuk menyusahkan ibu. Tidak ada dosa bagi keduanya menyusukan anak kepada orang lain dengan musyawarah dari bapak dan ibu, “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (Al-Baqarah: 233). Setelah dicapai kesepakatan di antara mereka berdua.”

Melihat pentingnya menyusui secara alami bagi bayi, Allah swt menetapkan nafkah untuk ibu menyusui bahkan sesudah dia ditalak, hal ini agar anak tidak sengsara karena disia-siakan dengan tidak mendapatkan nafkah dari bapak melalui ibu. Allah juga mendorong para ibu agar menyusui anak-anaknya, firman Allah, “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, ‘Susuilah dia.” (Al-Qashash: 7).

Karena susuan paling utama dan terbaik adalah yang langsung dihisap dari payudara ibu yang sehat setelah persalinan, susu ini adalah makanan alami yang pas untuk bayi, Allah telah menyiapkannya dengan kadar dan ukuran tertentu yang tidak tertandingi oleh susu jenis apapun, meskipun ia diklaim baik dari segi mutu dan kadarnya.

Kedokteran modern telah menetapkan manfaat-manfaat dari menyusui secara alami bagi anak dari segi kesehatan dan kejiwaan, di antara segi kesehatan adalah:

1- ASI adalah makanan terbaik bagi bayi, ia steril yang selalu siap karena tidak terkontaminasi oleh virus sebagaimana dalam susuan melalui botol, di samping itu suhu panas ASI sesuai dengan suhu panas bayi dan lebih dari itu gratis tanpa perlu biaya.

2- ASI mudah dicerna karena ia mengandung zat-zat pencerna yang justru membantu usus untuk mencerna.

3- ASI tidak tertandingi oleh susu apapun karena ia diciptakan dan disusun demi memenuhi kebutuhan bayi hari demi hari, susunan kolostrum, cairan berwarna kuning yang dihasilkan oleh payudara sesaat setelah persalinan, mengandung kadar protein lunak yang pas dan zat-zat imun yang melawan mikroba dan virus, maka bayi tumbuh dan dia memiliki kekuatan melawan penyakit.

4- Bayi tumbuh dan berkembang sehat dan selamat dari penyakit jika dia menyusu secara alami, pada saat yang sama menyusu dari botol membuat bayi riskan terkena beberapa penyakit seperti peradangan, diare dengan berbagai macamnya, tersedak dan masih banyak lagi.

Adapun dari segi kejiwaan maka kedokteran jiwa modern telah mengatakan bahwa menyusui secara alami menguatkan jalinan emosi antara ibu dengan bayinya, menjadikan ibu lebih sayang dan perhatian kepada bayinya, menyusui bukan proses sebatas materi, akan tetapi ia adalah jalinan maknawi dan pembentukan jiwa bagi bayi yang disusui.
(Izzudin Karimi)

Hukum Menghilangkan Rambut yang Tumbuh Di Wajah Wanita

TANYA:

Bagaimana hukum menghilangkan rambut yang tumbuh pada muka wanita?

JAWAB:

Jika rambut tersebut adalah rambut yang biasa tumbuh (rambut halus), maka tidak boleh menghilangkannya, berdasarkan hadits bahwa Rasulullah a melaknat wanita yang mencukur dan yang meminta cukur rambut halus yang tumbuh pada muka dan bulu alis.*

Adapun yang dimaksud mencukur rambut dalam hadits ini ialah mencabut atau menghilangkan rambut yang tumbuh pada muka dan bulu dua alis.

Sedangkan menghilangkan atau mencukur rambut tambahan yang dapat memperburuk rupa, seperti kumis dan jenggot, maka hal itu tidak menjadi masalah membuangnya dan tidak berdosa karena ia dapat memperburuk rupa dan memudharatkannya.

(SUMBER: Fatwa Syaikh Ibnu Baz, Majalah al-Buhuts, no. 37: 170-171. Lihat, FATWA-FATWA TERKINI, DARUL HAQ)

NB:

* Al-Bukhari bab at-Tafsîr (4886); Muslim bab Pakaian (2125)

Dinukil dari: www.alsofwah.or.id

Antara Malu Dan Iman

Antara Malu Dan Iman

عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو اْلأَنْصَارِيِّ الْبَدْرِيِّ رضي الله عنه، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُولَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

Dari Abu Mas'ud Uqbah bin Amr al-Anshari al-Badri RA, me-ngatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari ucapan para nabi terdahulu: Jika kamu tidak malu, maka lakukan apa yang kamu suka." (HR. al-Bukhari)*

SYARAH

Imam an-Nawawi berkata
:

Sabdanya, "Jika kamu tidak malu, maka lakukan sesukamu." Artinya, jika kamu hendak melakukan sesuatu; bila ia termasuk perkara yang tidak membuat malu untuk dikerjakan, baik terhadap Allah maupun manusia, maka lakukanlah. Jika tidak, maka jangan laku-kan. Pada hadits inilah berputar poros Islam seluruhnya. Berdasarkan hadits ini, maka sabdanya, "maka lakukan apa yang kamu suka" adalah perintah mubah. Karena, jika perbuatan itu tidak dilarang secara syar'i, ia adalah mubah. Sebagian ulama ada yang menafsirkan hadits ini, bahwa jika kamu tidak malu kepada Allah SWT dan tidak merasa mendapat pengawasanNya, maka ikuti keinginan nafsumu dan la-kukan sesukamu. Dengan demikian, perintah ini untuk tahdid (ancam-an), bukan kebolehan. Ini seperti firmanNya, "Perbuatlah apa yang kamu kehendaki." (Fushshilat: 40).

Dan seperti firmanNya, "Dan kacaukanlah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu." (Al-Isra': 64)

Imam Ibnu Daqiq berkata:

Makna sabdanya, "Dari ucapan para nabi terdahulu…" bahwa malu itu senantiasa terpuji, dinilai baik lagi diperintahkan, yang tidak dihapus dalam berbagai syariat para nabi terdahulu.

Sabdanya, "Lakukan apa yang kamu suka," di dalamnya terdapat dua tinjauan:
Pertama, lafal tersebut berbentuk perintah dengan makna ancaman, dan tidak dimaksudkan sebagai perintah, seperti firmanNya, "Perbuatlah apa yang kamu kehendaki." (Fushshilat: 40). Ini ancaman, karena Allah telah menjelaskan kepada mereka tentang apa yang mereka kerjakan dan apa yang mereka tinggalkan. Juga seperti sabda Nabi SAW,

مَنْ بَاعَ اْلخَمْرَ فَلْيُشَقِّصِ اْلخَنَازِيْرَ.



"Barangsiapa yang menjual khamar, hendaklah ia memotong-motong babi.",**

Di dalam hadits ini tidak ada kandungan yang membolehkan memotong babi.
Kedua, maknanya, kerjakan segala yang tidak membuat malu ketika pelakunya menampakkannya. Senada dengan ini, ialah sabda beliau SAW,

الحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ.


"Malu itu sebagian dari iman."

Artinya, ketika malu itu menghalangi pelakunya dari berbagai kenistaan dan membawanya kepada kebajikan, sebagaimana iman menghalanginya orang yang beriman dari kenistaan tersebut dan membawanya kepada ketaatan, maka ia berkedudukan sebagai iman karena menyamainya dalam hal itu. Wallahu a'lam.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata:

Sabdanya, "Salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari ucapan para nabi terdahulu, Jika kamu tidak malu, maka lakukan apa yang kamu suka." Yakni, salah satu peninggalan para nabi terdahulu yang terdapat pada umat-umat sebelumnya, dan diakui oleh syariat ini, "Jika kamu tidak malu, maka lakukan apa yang kamu suka." Artinya, jika kamu melakukan suatu perbuatan yang tidak membuat malu, maka lakukan sesukamu. Ini salah satu dari dua tinjauan. Yakni, lakukanlah dalam pengertian ini.

Aspek kedua, jika manusia tidak punya rasa malu, maka ia melakukan sesukanya dan tidak peduli. Kedua makna ini benar.

Faedah Hadits

Rasa malu itu merupakan salah satu perkara yang dibawa oleh syariat-syariat terdahulu, dan manusia semestinya bersikap tegas. Jika sesuatu tidak membuat malu, maka silahkan melakukannya. Kemutlakan ini dibatasi dengan sesuatu yang bila dikerjakan akan mendatangkan kerugian. Ia dilarang dikerjakan, karena mengkhawatirkan mafsadahnya.

CATATAN KAKI:

* HR. al-Bukhari, no. 3483, 3484, 6120

** Hadits dha'if: Ahmad, 4/253; Abu Daud, no. 3489; ad-Darimi, 2/ 155; al-Baihaqi dalam al-Kubra, 6/ 12; ath-Thabrani dalam al-Ausath, 8/ 245; dan didhaifkan al-Albani dalam Dha'if al-Jami', no. 5499.

Berkata muallif an-Nihayah fi Gharib al-Hadits, "Ini adalah kata perintah tetapi maknanya adalah larangan. Dan berkata Muhammad Syamsul Haq Abadi, 'Makna hadits ini adalah mempertegas dan memperkuat haramnya khamar'." Lihat Aun al-Ma'bud, (editor).
*** Muttafaq alaih: al-Bukhari, no. 24; dan Muslim, no. 36

Dinukil dari: www.alsofwah.or.id