Selasa, 15 Juli 2008

Kunci Syurga Muslimah

Surga adalah idaman dan harapan setiap orang beriman, laki-laki dan perempuan, ia adalah akhir perjalanan bagi semua orang yang taat dan patuh kepada Allah dengan menjalankan perintahNya dan menjauhi laranganNya, bagi seorang muslimah perkara ini penting karena Rasulullah saw telah menyatakan bahwa kebanyakan penghuni neraka adalah wanita, dari sini mengetahui kunci surga oleh seorang muslimah merupakan perkara penting, dengan meraih kunci ini berarti dia tidak termasuk ke dalam golongan para wanita penghuni neraka.

Rasulullah saw telah merangkum kunci surga muslimah dalam empat perkara,
1- Menjaga shalat lima waktu.
2- Berpuasa di bulannya.
3- Menjaga kehormatannya.
4- Menaati suaminya.

Dari Abdurrahman bin Auf berkata, Rasulullah saw bersabda,


إِذَا صَلَّتِ المَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَصَنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الجَنَّةِ شَاءَتْ .

“Jika seorang wanita menjaga shalat lima waktu, berpuasa pada bulannya, menjaga kehormatannya dan menaati suaminya, niscaya dia masuk surga dari pintu mana saja yang dia inginkan.”(HR. Ahmad nomor 1661, hadits hasan lighairihi).

Satu hal yang terpetik dari sabda Nabi saw di atas adalah bahwa beliau hanya menyebutkan perkara-perkara yang masuk ke dalam jangkauan seorang muslimah, di mana seorang muslimah mampu melaksanakannya tanpa bergantung kepada orang lain atau bergantung kepada suaminya, di sini Rasulullah saw tidak menyinggung, misalnya, haji, karena pelaksanaan ibadah ini oleh seorang muslimah bergantung kepada suatu perkara yang mungkin tidak dimilikinya, seperti tersedianya bekal haji atau tersedianya mahram, di sini Rasulullah saw juga tidak menyinggung zakat, karena perkaranya kembali kepada kepemilikan harta dan pada umumnya ia berada di tangan kaum laki-laki, karena harta adalah hasil bekerja dan yang bekerja pada dasarnya adalah kaum laki-laki.

Kunci pertama, menjaga shalat lima waktu

Shalat adalah ibadah teragung, hadir setelah ikrar dua kalimat syahadat, satu-satunya ibadah yang tidak menerima alasan ‘tidak mampu’, wajib dikerjakan dalam keadaan apa pun selama hayat masih dikandung badan dan akal masih bekerja dengan baik, pembatas antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan, tidak heran jika suatu ibadah dengan kedudukan seperti ini merupakan salah satu kunci surga.

Jika menjaga shalat adalah kunci surga, maka sebaliknya menyia-nyiakannya adalah gerbang neraka, ketika para pendosa dicampakkan ke dalam neraka, mereka ditanya, apa yang membuat kalian tersungkur ke dalam neraka? Mereka menyebutkan rentetan dosa-dosa yang diawali dengan meninggalkan shalat.

Firman Allah, "Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka)?’ Mereka menjawab, ‘Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.”(Al-Muddatstsir: 42-43).

Perkara menyia-nyiakan shalat tidak jarang terjadi pada kaum muslimin secara umum dan kaum muslimat secara khusus, banyak alasan dan hal yang membuat mereka terjerumus ke dalam perbuatan tidak terpuji ini, di antara mereka ada yang menyia-nyiakan shalat karena malas dan meremehkan, di antara mereka ada yang terlalaikan oleh kesibukan hidup, sibuk bekerja, sibuk memasak, sibuk mengurusi rumah tangga, sibuk mengurusi anak-anak dan suami, sibuk dengan kegiatan-kegiatan lainnya sehingga ibadah shalat terbengkalai, padahal ibadah shalat tidak menerima alasan apa pun yang membuatnya tersia-siakan, dan Allah telah memperingatkan kaum muslimin agar tidak terlalaikan oleh dunia dari mengingatNya, termasuk mengingatNya melalui ibadah shalat.

Firman Allah, “Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.” (Al-Munafiqun: 9).

Menjaga shalat lima waktu mencakup menjaga waktunya dalam arti melaksanakannya tepat waktu, tidak menundanya dan mengulur-ulur waktunya sampai waktunya hampir habis, atau bahkan membiarkannya habis, ini adalah shalat orang-orang munafik, dan seorang muslimah tidak patut bermental munafik dalam ibadah shalat.

Menjaga shalat mencakup menjaga syarat-syarat dan rukun-rukunnya di mana shalat tidak sah tanpanya, menjaga wajib-wajib dan sunnah-sunnahnya yang merupakan penyempurna bagi ibadah shalat, semua ini menuntut seorang muslimah untuk belajar dan membekali diri dengan ilmu yang shahih tentang shalat. Tanpa ilmu yang shahih tidak akan terwujud menjaga shalat.

Kunci kedua, berpuasa di bulannya

Puasa di bulan Ramadhan adalah salah satu kunci surga, lebih dari itu di surga tersedia sebuah pintu khusus bagi orang-orang yang berpuasa yang dikenal dengan ‘ar-Rayyan’, pintu masuk para shaimin secara khusus, jika mereka telah masuk maka ia akan ditutup.
Di samping berpuasa sebagai kunci surga, ia juga merupakan tameng dan pelindung dari neraka, Rasulullah saw menyatakan, ash-shaumu junnah, puasa adalah tameng atau pelindung, yakni dari api neraka.

Karena puasa merupakan salah satu kunci surga sekaligus pelindung dari neraka maka seorang muslimah harus menjaganya, dalam arti melaksanakannya dengan baik, memperhatikan syarat, rukun dan pembatalnya, karena tanpanya dia tidak mungkin berpuasa dengan baik.

Seorang muslimah juga harus memperhatikan perkara qadha puasa Ramadhan di hari-hari lain jika dia mendapatkan halangan pada bulan Ramadhan sehingga tidak mungkin berpuasa secara penuh, jangan sampai Ramadhan berikut hadir sementara dia belum melunasi hutang puasanya, perkara mengqadha puasa di hari lain ini sering terlupakan atau terabaikan, karena kesibukan hidup, padahal ia adalah hutang yang jika tidak dilaksanakan maka seorang muslimah tidak bisa dikatakan telah berpuasa di bulannya, selanjutnya dia gagal meraih kunci kedua dari kunci-kunci masuk surga, dari sini bersikap hati-hati dengan menyegerakan qadha adalah sikap bijak, karena penundaan terkadang malah merepotkan dan menyulitkan.
(Izzudin Karimi)

Diambil dari: www.alsofwah.or.id

Kamis, 10 Juli 2008

Susu Ibu adalah Makanan Terbaik bagi Bayi

Berikut artikel yang diambil dari web: www.alsofwah.or.id. Semoga bermanfaat.

Tugas dan Beban Ibu: Menyusui

Fase menyusu termasuk fase terpenting yang dilalui oleh anak, peran ibu dalam fase ini sangat penting, oleh karena itu Allah tidak menyerahkan persoalannya kepada seseorang, akan tetapi Dia menurunkan ayat yang terbaca sepanjang waktu dan zaman, demi menegaskan di setiap tempat dan waktu pentingnya menyusui secara alami bagi ibu dan bayi sekaligus.

Firman Allah Ta’ala, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan, dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan waris pun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah: 233).

Dalam Tafsir al-Qurthubi rhm tentang firman Allah, “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya,” disebutkan ucapan adh-Dhahhak yang berkata, “Para ibu lebih berhak menyusui anak-anak mereka daripada wanita lain karena mereka lebih sayang dan lebih lembut, menjauhkan anak dari ibu merugikan keduanya.”

FirmanNya, “Selama dua tahun.” Yakni sempurna bagi siapa yang hendak menyempurnakan susuan, ini menunjukkan bahwa menyusui selama dua tahun bukan merupakan hak, boleh menyapih sebelum itu, dan hal ini bersifat kondisional.

Firman Allah, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang tuanya: ibu bapaknya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepadaKu-lah kembalimu.” (Luqman: 14).

Firman Allah, “Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula), mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”(Al-Ahqaf: 15).

Dalam Tafsir al-Qurthubi disebutkan ucapan Ibnu Abbas yang berkata, “Kedua ayat ini tentang anak, dia berdiam di dalam rahim selama enam bulan, jika dia berdiam selama tujuh bulan maka susuannya selama dua puluh tiga bulan, jika dia berdiam selama delapan bulan maka susuannya dua puluh dua bulan, jika dia berdiam selama sembilan bulan maka susuannya selama dua puluh satu bulan berdasarkan firman Allah, “Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan.”(Al-Ahqaf: 15). Dari sini maka masa kehamilan dan menyusui saling berkaitan, sebagian mengambil yang lain.

Ini tentang masa menyusui, adapun tentang hukum menyusui maka Allah berfirman, “Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya.” (Al-Baqarah: 233). Al-Bukhari meriwayatkan dari Yunus dari az-Zuhri berkata, “Allah melarang menyengsarakan ibu karena anaknya, ibu berkata, ‘aku tidak menyusuinya’, padahal susu ibu adalah makanan terbaik bagi bayi, ibu lebih sayang dan lebih lembut kepada anak daripada selainnya, ibu tidak berhak menolak menyusui setelah bapak memberikan kepadanya apa yang Allah wajibkan atas dirinya, bapak tidak boleh menyengsarakan ibu karena anaknya, bapak tidak menghalangi ibu menyusui anaknya dan menyerahkan anak kepada orang lain untuk menyusahkan ibu. Tidak ada dosa bagi keduanya menyusukan anak kepada orang lain dengan musyawarah dari bapak dan ibu, “Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.” (Al-Baqarah: 233). Setelah dicapai kesepakatan di antara mereka berdua.”

Melihat pentingnya menyusui secara alami bagi bayi, Allah swt menetapkan nafkah untuk ibu menyusui bahkan sesudah dia ditalak, hal ini agar anak tidak sengsara karena disia-siakan dengan tidak mendapatkan nafkah dari bapak melalui ibu. Allah juga mendorong para ibu agar menyusui anak-anaknya, firman Allah, “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa, ‘Susuilah dia.” (Al-Qashash: 7).

Karena susuan paling utama dan terbaik adalah yang langsung dihisap dari payudara ibu yang sehat setelah persalinan, susu ini adalah makanan alami yang pas untuk bayi, Allah telah menyiapkannya dengan kadar dan ukuran tertentu yang tidak tertandingi oleh susu jenis apapun, meskipun ia diklaim baik dari segi mutu dan kadarnya.

Kedokteran modern telah menetapkan manfaat-manfaat dari menyusui secara alami bagi anak dari segi kesehatan dan kejiwaan, di antara segi kesehatan adalah:

1- ASI adalah makanan terbaik bagi bayi, ia steril yang selalu siap karena tidak terkontaminasi oleh virus sebagaimana dalam susuan melalui botol, di samping itu suhu panas ASI sesuai dengan suhu panas bayi dan lebih dari itu gratis tanpa perlu biaya.

2- ASI mudah dicerna karena ia mengandung zat-zat pencerna yang justru membantu usus untuk mencerna.

3- ASI tidak tertandingi oleh susu apapun karena ia diciptakan dan disusun demi memenuhi kebutuhan bayi hari demi hari, susunan kolostrum, cairan berwarna kuning yang dihasilkan oleh payudara sesaat setelah persalinan, mengandung kadar protein lunak yang pas dan zat-zat imun yang melawan mikroba dan virus, maka bayi tumbuh dan dia memiliki kekuatan melawan penyakit.

4- Bayi tumbuh dan berkembang sehat dan selamat dari penyakit jika dia menyusu secara alami, pada saat yang sama menyusu dari botol membuat bayi riskan terkena beberapa penyakit seperti peradangan, diare dengan berbagai macamnya, tersedak dan masih banyak lagi.

Adapun dari segi kejiwaan maka kedokteran jiwa modern telah mengatakan bahwa menyusui secara alami menguatkan jalinan emosi antara ibu dengan bayinya, menjadikan ibu lebih sayang dan perhatian kepada bayinya, menyusui bukan proses sebatas materi, akan tetapi ia adalah jalinan maknawi dan pembentukan jiwa bagi bayi yang disusui.
(Izzudin Karimi)

Hukum Menghilangkan Rambut yang Tumbuh Di Wajah Wanita

TANYA:

Bagaimana hukum menghilangkan rambut yang tumbuh pada muka wanita?

JAWAB:

Jika rambut tersebut adalah rambut yang biasa tumbuh (rambut halus), maka tidak boleh menghilangkannya, berdasarkan hadits bahwa Rasulullah a melaknat wanita yang mencukur dan yang meminta cukur rambut halus yang tumbuh pada muka dan bulu alis.*

Adapun yang dimaksud mencukur rambut dalam hadits ini ialah mencabut atau menghilangkan rambut yang tumbuh pada muka dan bulu dua alis.

Sedangkan menghilangkan atau mencukur rambut tambahan yang dapat memperburuk rupa, seperti kumis dan jenggot, maka hal itu tidak menjadi masalah membuangnya dan tidak berdosa karena ia dapat memperburuk rupa dan memudharatkannya.

(SUMBER: Fatwa Syaikh Ibnu Baz, Majalah al-Buhuts, no. 37: 170-171. Lihat, FATWA-FATWA TERKINI, DARUL HAQ)

NB:

* Al-Bukhari bab at-Tafsîr (4886); Muslim bab Pakaian (2125)

Dinukil dari: www.alsofwah.or.id

Antara Malu Dan Iman

Antara Malu Dan Iman

عَنْ أَبِيْ مَسْعُوْدٍ عُقْبَةَ بْنِ عَمْرٍو اْلأَنْصَارِيِّ الْبَدْرِيِّ رضي الله عنه، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم: إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلاَمِ النُّبُوَّةِ اْلأُولَى، إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ

Dari Abu Mas'ud Uqbah bin Amr al-Anshari al-Badri RA, me-ngatakan, Rasulullah SAW bersabda, "Salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari ucapan para nabi terdahulu: Jika kamu tidak malu, maka lakukan apa yang kamu suka." (HR. al-Bukhari)*

SYARAH

Imam an-Nawawi berkata
:

Sabdanya, "Jika kamu tidak malu, maka lakukan sesukamu." Artinya, jika kamu hendak melakukan sesuatu; bila ia termasuk perkara yang tidak membuat malu untuk dikerjakan, baik terhadap Allah maupun manusia, maka lakukanlah. Jika tidak, maka jangan laku-kan. Pada hadits inilah berputar poros Islam seluruhnya. Berdasarkan hadits ini, maka sabdanya, "maka lakukan apa yang kamu suka" adalah perintah mubah. Karena, jika perbuatan itu tidak dilarang secara syar'i, ia adalah mubah. Sebagian ulama ada yang menafsirkan hadits ini, bahwa jika kamu tidak malu kepada Allah SWT dan tidak merasa mendapat pengawasanNya, maka ikuti keinginan nafsumu dan la-kukan sesukamu. Dengan demikian, perintah ini untuk tahdid (ancam-an), bukan kebolehan. Ini seperti firmanNya, "Perbuatlah apa yang kamu kehendaki." (Fushshilat: 40).

Dan seperti firmanNya, "Dan kacaukanlah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu." (Al-Isra': 64)

Imam Ibnu Daqiq berkata:

Makna sabdanya, "Dari ucapan para nabi terdahulu…" bahwa malu itu senantiasa terpuji, dinilai baik lagi diperintahkan, yang tidak dihapus dalam berbagai syariat para nabi terdahulu.

Sabdanya, "Lakukan apa yang kamu suka," di dalamnya terdapat dua tinjauan:
Pertama, lafal tersebut berbentuk perintah dengan makna ancaman, dan tidak dimaksudkan sebagai perintah, seperti firmanNya, "Perbuatlah apa yang kamu kehendaki." (Fushshilat: 40). Ini ancaman, karena Allah telah menjelaskan kepada mereka tentang apa yang mereka kerjakan dan apa yang mereka tinggalkan. Juga seperti sabda Nabi SAW,

مَنْ بَاعَ اْلخَمْرَ فَلْيُشَقِّصِ اْلخَنَازِيْرَ.



"Barangsiapa yang menjual khamar, hendaklah ia memotong-motong babi.",**

Di dalam hadits ini tidak ada kandungan yang membolehkan memotong babi.
Kedua, maknanya, kerjakan segala yang tidak membuat malu ketika pelakunya menampakkannya. Senada dengan ini, ialah sabda beliau SAW,

الحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ.


"Malu itu sebagian dari iman."

Artinya, ketika malu itu menghalangi pelakunya dari berbagai kenistaan dan membawanya kepada kebajikan, sebagaimana iman menghalanginya orang yang beriman dari kenistaan tersebut dan membawanya kepada ketaatan, maka ia berkedudukan sebagai iman karena menyamainya dalam hal itu. Wallahu a'lam.

Syaikh Ibnu Utsaimin berkata:

Sabdanya, "Salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari ucapan para nabi terdahulu, Jika kamu tidak malu, maka lakukan apa yang kamu suka." Yakni, salah satu peninggalan para nabi terdahulu yang terdapat pada umat-umat sebelumnya, dan diakui oleh syariat ini, "Jika kamu tidak malu, maka lakukan apa yang kamu suka." Artinya, jika kamu melakukan suatu perbuatan yang tidak membuat malu, maka lakukan sesukamu. Ini salah satu dari dua tinjauan. Yakni, lakukanlah dalam pengertian ini.

Aspek kedua, jika manusia tidak punya rasa malu, maka ia melakukan sesukanya dan tidak peduli. Kedua makna ini benar.

Faedah Hadits

Rasa malu itu merupakan salah satu perkara yang dibawa oleh syariat-syariat terdahulu, dan manusia semestinya bersikap tegas. Jika sesuatu tidak membuat malu, maka silahkan melakukannya. Kemutlakan ini dibatasi dengan sesuatu yang bila dikerjakan akan mendatangkan kerugian. Ia dilarang dikerjakan, karena mengkhawatirkan mafsadahnya.

CATATAN KAKI:

* HR. al-Bukhari, no. 3483, 3484, 6120

** Hadits dha'if: Ahmad, 4/253; Abu Daud, no. 3489; ad-Darimi, 2/ 155; al-Baihaqi dalam al-Kubra, 6/ 12; ath-Thabrani dalam al-Ausath, 8/ 245; dan didhaifkan al-Albani dalam Dha'if al-Jami', no. 5499.

Berkata muallif an-Nihayah fi Gharib al-Hadits, "Ini adalah kata perintah tetapi maknanya adalah larangan. Dan berkata Muhammad Syamsul Haq Abadi, 'Makna hadits ini adalah mempertegas dan memperkuat haramnya khamar'." Lihat Aun al-Ma'bud, (editor).
*** Muttafaq alaih: al-Bukhari, no. 24; dan Muslim, no. 36

Dinukil dari: www.alsofwah.or.id